PANTAU LAMPUNG – MOCHAMMAD NASHIR juga dikenal dengan Nashir Badri, lahir di Palembang 9 Juli 1968. Anak ketiga pasangan Badri Nawar (alm) dan Hj. Siti Hanifah ini adalah satu dari sedikit politisi yang peduli dengan isu-isu lingkungan. Paling tidak, sejak terjun dalam dunia konsultansi hampir 20 tahun lalu, pola pemikiran Nashir telah mengarah pada ide dan diskursus terkait sustainability dalam bidang-bidang lingkungan, sosial, ekonomi, dan pembangunan.
Nashir Badri yang akrab dipanggil Bang Een melalui masa kecilnya di Palembang, Lubuk Linggau, dan Malang (Jawa Timur), sebelum kemudian berpindah domisili ke Bandar Lampung sejak tahun 1979. Di kota ini ia menyelesaikan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Pengetahuannya tentang perkembangan kota ini, sangat tidak diragukan. Saat mahasiswa, Nashir Badri adalah satu dari aktivis Fakultas Pertanian Unila yang kerap melakukan kegiatan-kegiatan di bidang sosial budaya, ekonomi dan pertanian.
Lepas pendidikan tinggi, Nashir Badri juga pernah bekerja di perbankan dan perguruan tinggi. Nalurinya sebagai insan akademis, hingga kini masih melekat. “Seringkali saya merasa terpanggil untuk membagi suatu pengetahuan dan pengalaman yang saya dapat kepada orang banyak lewat diskusi-diskusi dan kegiatan desiminasi lainnya. Bahkan kalau kangen kampus, saya biasanya hadir menjadi praktisi pengajar/dosen tamu di ruang-ruang akademis. Beruntungnya, saya memiliki banyak sahabat di kampus-kampus yang dapat memberi ruang itu kepada saya,” ungkap Bang Een.
Nashir Badri sebenarnya bukan orang baru dalam dunia politik daerah, meski hingga tahun 2021 ia belum berperan secara praktis di dalam partai politik. Dan sejak 2 tahun terakhir, dia menjabat Ketua Majelis Pakar DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kota Bandar Lampung. Bersama sahabatnya sejak masa kuliah, H. Albert Alam (Ketua DPC PPP Kota Bandar Lampung saat ini) dan sahabat-sahabat lainnya di partai, dia bertekad bahu membahu mendorong kembalinya partai ka’bah ini untuk berperan lebih besar dalam pembangunan daerah dengan prinsip berpolitik yang amar ma’ruf nahi munkar.
Nashir Badri berpengalaman cukup panjang sebagai konsultan politik dan pemerintahan. Dia mendirikan InReDS (Institute of Regional Development Studies) bersama Nery Juliawan, Budi Harjo, Buyung Rahman, dan almarhum Ivan Bonang, dan sukses membawa InReDS sebagai salah satu “gudang pemikir” pengembangan dan pembangunan daerah yang banyak bermitra dengan pemerintah daerah.
Dia juga berpengalaman sebagai tenaga ahli parlemen di level kabupaten. Terakhir, di periode 2014-2019 dia tercatat sebagai tenaga ahli Fraksi Demokrat di DPRD Tulangbawang Barat. Dia juga pernah mengawal keberhasilan beberapa calon kepala daerah dan calon anggota legislatif di Provinsi Lampung. KPU Lampung pernah pula “menggunakan jasanya” sebagai Ketua Tim Seleksi KPU Tulangbawang Barat di tahun 2010.
Kedekatannya dengan dunia kampus membawa orientasi pemikirannya pada konsep yang bersifat akademis dan terukur, berbudaya, dan berwawasan lingkungan. ‘Pengetahuan dan teknologi, adalah seni yang bukan hanya jadi pertunjukan, tetapi mesti menyelami dan memenuhi kebutuhan orang banyak, sehingga tujuan berbangsa yang adil dan sejahtera bukan menjadi “visi bodong” semata,” demikian Nashir. Kampus dan organisasi juga menjadikannya mudah menyelami pergaulan dengan banyak kalangan; akademisi, pengusaha, pemerintah daerah, UMKM dan petani, mahasiswa, buruh, seniman dan budayawan, aktivis lingkungan hidup, kaum milenial dan gen-z.
Nashir Badri berpengalaman dalam banyak organisasi. Sejak di kampus pada era 80-90 an dia menjadi aktivis Senat Mahasiswa FP Unila. Dia adalah salah satu pendiri UKMBS Unila di tahun 1989 yang telah melahirkan banyak seniman dan budayawan terkenal. Nashir juga pernah menjadi pengurus Pejuang Siliwangi Indonesia Provinsi Lampung, dan KOSGORO Provinsi Lampung. Hingga hari ini, Nashir Badri masih menjadi Ketua Fokal Smanda 87 yang anggotanya mencapai 500-an alumni dan berdomisili di Lampung, kota-kota besar di Indonesia, bahkan luar negeri.
Dalam beberapa waktu terakhir, Bang Een mulai lebih serius memainkan perannya sebagai seorang politisi hijau. Dia mengumpulkan para sahabatnya dari berbagai kalangan; praktisi, aktivis, pakar dan akademisi, wiraswasta, seniman dan budayawan, jurnalis, bahkan mahasiswa dalam wadah Komunitas Desiminasi Hijau Itu Kita, sebuah kelompok belajar (istilah yang Nashir dkk gunakan dalam menamai komunitasnya) yang aktif melakukan sosialisasi, diskusi, propaganda, dan bentuk-bentuk desiminasi lainnya dalam bidang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Komunitas ini meyakini bahwa tidak perlahan dan pasti, fenomena-fenomena alam menggerus kualitas kehidupan. Global warming dan perubahan iklim, deforestasi, degradasi daya dukung dan daya tampung lingkungan, polusi, degradasi ekosistem darat dan air, kerusakan keanekaragaman hayati, dll, dll telah memaksa kualitas kehidupan saat ini turun grade jauh dibanding masa lampau. Teknologi, yang sejatinya menjadi pralambang kecerdasan dan kebijaksanaan manusia mengelola alam, seolah berubah fungsi menjadi penghancur alam dan kehidupan (termasuk sosial dan budaya).
Degradasi fungsi lingkungan adalah lawan kata dari kehidupan berkelanjutan. Maka, melepaskan diri dari belenggu kebodohan masa sekarang yang berakibat pada keterpurukan masa depan adalah sebuah keharusan. “Terlampau besar resiko yang diambil bila kita menggadaikan kehidupan anak cucu kelak. Mengabaikan pola kehidupan yang berkelanjutan sama dengan menyiapkan bumi yang tidak bersahabat untuk menjadi modal hidup generasi ke depan,” Nashir berpendapat.
Maka itu, politik hijau adalah jawaban. Nashir Badri dkk memasuki berbagai segmen dalam bersosialisasi. Pengusaha, birokrat, akademisi, pendidik, buruh dan pekerja, petani, nelayan, insan pers, aktivis, mahasiwa dan pelajar, dll adalah para stakeholder gerakan. Kalangan muda menjadi target utama. Komunitas ini kerap mengundang para gen z untuk berdiskusi, ngobrol, sharing berbagai topik-topik lingkungan yang up to date. Sudah lebih dari 300 orang generasi z dan milenial yang berinteraksi dengan komunitas ini, untuk terus menggaungkan bahwa kehidupan orang banyak masa sekarang dan nanti mesti ditopang oleh kesadaran, mindset dan gerakan-gerakan cinta kehijauan/alam. Bahwa hijau itu adalah kita.
Keseriusan Bang Een dkk akan gerakan politik hijau juga dilakukan lewat agenda politik praktis. Beberapa penggiat komunitas telah memutuskan untuk maju dalam Pemilu legislatif 2024 mendatang. Bang Een sendiri akan maju sebagai salah seorang calon anggota DPRD Provinsi Lampung dari daerah pemilihan Kota Bandar Lampung. Dia berkeinginan untuk berjuang mengedepankan politik ramah lingkungan dalam pembangunan daerah dengan menjalankan fungsi parlemen dalam mendorong, mengawal, dan mengontrol pembangunan berkelanjutan di provinsi ini.
Politik hijau perlu menjadi gerakan yang masif. Pola pikir ke arah ekosentris penting menjadi penyeimbang antroposentrime yang terbukti banyak memberikan dampak negatif terhadap kehidupan khalayak. “Kebutuhan alam adalah penjamin kehidupan manusia. Bukan sebaliknya, alam dieksploitasi habis-habisan tanpa memikirkan keberlanjutan kehidupan,” kata Nashir Badri mengakhiri obrolan.