SEMARANG, PL– Iqnatia Dewi Management (IDM) Semarang yang berkiprah dalam jagad seni, pendidikan, dan sosial kembali menggebrak kota Atlas. Setelah sukses menggelar hajat pameran lukisan bertajuk “Healing” tahun lalu, IDM yang dinakhodai Iqnatia Dewi membuka kiprahnya tahun ini. IDM kembali menggelar event Tjiu Perfoming Art kolaborasi pameran akbar seni rupa dan perfoming art yang menampilkan penyair Kelana Siwi, Semarang Choir, Carus Band, Langen Mataya, Sanggar Monod Laras dan Sanggar Beatuty Ballet.
Gelaran pameran menaja puluhan karya kontemporer dan fotografi para perupa dari Semarang, Yogyakarta dan Jepara yaitu Tan Markaban, Hartono, Iqnatia Dewi, Mona Palma, Pieter Muriany,Moses Foresto, Atie Krisna, Darma Lungit, Diah Kuncoro, Christian Saputro, Agus Budi Santoso, Daniel Kho, Riyanto Sudikyo, Ismanto Wahyudi, Heri Purwanto, Azhar Horo, Budi Ubrux, Koes Manto, Ilyas Ruhiyat, Isa Ansori, Syaikun, Dzaful Kafi, Zulfiana R.A, Zia Ulhaq dan Hwie Janto.
Perhelatan seni akbar pameran yang mengusung tajuk : “Hening” ini bakal digelar di Gallery Monod Huis, Jalan Kepodang, Kota Lama, Semarang. Pameran lukisan kontemper yang akan dibuka pemilik museum modern dan kontemporer OHD Magelang Oei Hong Djien ini bakal berlangsung dari 12 -19 Februari 2022.
Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Prof. M. Dwi Marianto, MFA, Phd selaku penulis dalam pameran ini mengatakan, memahami “hening” “sebagai ruang”, “realita”, “potensi”, “keadaan”, “kesempatan”,”sifat”, “kualitas”, “kesendirian”, “kekuatan” dan “ruang kebolehjadian”. Keheningan itu senantiasa mengandung titik-titik imajiner yang jumlahnya tak terbatas.
“Keheningan seperti ketika sedang berjalan kaki di jalan yang kanan kirinya pepohonan; ketika ritme jantung jadi music absolute pengantar jalan-jalan, dari banyaknya titik itu, atau yang tak terbatas itu, kita dapat memetik sejumlah titik saja sesuai kebutuhan,” ujar guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dalam pengantarnya.
Lebih lanjut, dikatakannya, dengan titik-titik itu kita dapat merangkainya sebagai sesuatu –burung, pohon, sebongkah, sebongkah batu, huruf, angka, atau tanda apa saja.
“Keheningan itu adalah ruang imajiner, kebolehjadian, gelaran potensi virtual ke dalam mana segala imajinasi dapat dilemparkan. Atau dari mana berbagai imajinasi dapat disembulkan. Menurut Pablo Picasso yang dapat dibayangkan itu nyata, oleh karenanya dapat dinyatakan,” beber Dwi Marianto.
Mengadopsi perkataan Rajneesh, lanjut Dwi Marianto, kreativitas sejati itu justru muncul dari keheningan, yaitu ketika seseorang dalam hening, diam, tanpa terecoki apa-apa; bebas lepas manakala gemuruh kehidupan tidak mengusik keberadaanmu; dari keheningan jenis inilah hadir kreativitas yang lain.
Mengembangkan gagasan merujuk Sarah Fletcher, untuk memunculkan pikiran-pikiran kreatif kita memerlukan keleluasaan pikir. Hanya dengan keleluasaan itulah titik-titik imaginer, atau yang sebelumnya tak terhubung terangkai, dan jadi sesuatu.
Jadi, harapannya, lanjur Dwi Marianto, di pameran “Hening” yang bisa heboh atau hikmat, munculnya karya-karya yang bersifat seperti burung hantu (owl). Karya-karyanya ibarat burung hantu bukan hanya tampilannya yang elok dan unik, tetapi juga cerdas, akurat, dan tangkas menangkap tikus. Karya yang memesona dan memiliki daya “ganggu” yang kreatif,” pungkas pengamat seni rupa dari ISI Yogyakarya ini.
(*)