PANTAU LAMPUNG— Indonesia kembali diguncang bencana besar. Banjir dan longsor yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak hanya memutus akses jalan, menenggelamkan ribuan rumah, serta merusak fasilitas umum, tetapi juga merenggut nyawa lebih dari 800 orang. Hingga kini, sekitar 500 warga masih dinyatakan hilang, meninggalkan duka mendalam dan tanda tanya besar mengenai penyebab di balik tragedi ekologis berskala nasional ini.
Dalam sepekan terakhir, lebih dari 50 kabupaten lumpuh total. Jalur logistik terputus, pelayanan kesehatan kesulitan menjangkau lokasi terdampak, dan ribuan keluarga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Kondisi diperparah dengan terbatasnya alat berat, akses internet yang terputus, serta cuaca ekstrem yang membuat proses evakuasi berjalan lambat.
Di balik kehancuran ini, para pemerhati lingkungan kembali mengingatkan bahwa bencana besar di Sumatera bukan hanya ulah cuaca ekstrem akibat Siklon Tropis Senyar. Mereka menilai kerusakan ekologis — yang sudah lama terjadi — turut memperbesar skala dampak yang kini dirasakan masyarakat.
Edy Karizal, Direktur Lembaga Konservasi 21 (LK-21), mengungkapkan bahwa struktur ekosistem di banyak kawasan hulu sudah tidak lagi mampu menahan curah hujan besar. “Curah hujan ekstrem memang menjadi pemicu, tapi ekosistem yang rusak membuat banjir dan longsor menjadi jauh lebih destruktif,” ujarnya.
Menurut Edy, hutan-hutan yang selama ini menjadi benteng alami telah menyusut drastis akibat alih fungsi lahan dan lemahnya pengawasan tata ruang. Berdasarkan data LK-21, sejak beberapa periode kepemimpinan kementerian kehutanan hingga saat ini, sekitar 1,64 juta hektare hutan hilang karena konversi menjadi Area Peruntukan Lain (APL). Rinciannya mencakup Aceh ±70.000 ha, Sumatera Utara ±150.000 ha, Riau ±600.000 ha, Jambi ±120.000 ha, Kalimantan Barat ±60.000 ha, Kalimantan Tengah ±350.000 ha, Kalimantan Timur ±250.000 ha, dan wilayah lain ±50.000 ha.
“Hilangnya tutupan hutan membuat tanah tidak lagi stabil. Longsor membawa gelondongan kayu, lumpur, hingga batu besar ke permukiman,” jelasnya. Ia menyebut kondisi ini sebagai kombinasi mematikan antara bencana alam dan kerusakan lingkungan yang berlangsung lama.
Edy juga menyoroti regulasi yang menurutnya berpotensi memperlemah perlindungan kawasan konservasi, seperti Permen LHK Nomor 14 Tahun 2023. Ia menilai perlunya evaluasi mendalam agar pembangunan tidak mengorbankan daya dukung lingkungan.
Selain memicu banjir besar, perubahan tutupan hutan disebut berdampak serius pada habitat satwa liar seperti harimau sumatra, gajah, badak, dan orangutan. Dalam satu dekade terakhir, konflik satwa–manusia meningkat tajam akibat hilangnya ruang hidup alami. Perubahan tata guna lahan turut membuat lanskap kehilangan kemampuan menyerap air dalam jumlah besar, sehingga banjir bandang semakin mudah terjadi.
Edy menegaskan perlunya langkah cepat dan tegas: rehabilitasi kawasan hulu, audit perizinan, peninjauan kembali tata ruang, hingga penegakan hukum bagi pelanggar lingkungan. Ia menekankan pentingnya evaluasi kebijakan yang berbasis data dan mengikuti mekanisme audit yang transparan. “Hutan alam tidak bisa diperlakukan seperti perkebunan monokultur. Fungsinya jauh lebih kompleks,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah pusat menyatakan fokus utama tetap pada penyelamatan korban. Tim SAR gabungan masih menyisir lokasi-lokasi terparah, sementara kementerian terkait mempersiapkan langkah rehabilitasi jangka panjang. Namun para ahli menilai, penanganan darurat tidak boleh melupakan akar masalah yang telah lama diabaikan.
Tragedi ini menjadi alarm keras bahwa tata kelola hutan, penataan ruang, dan kebijakan lingkungan di Indonesia membutuhkan pembenahan besar-besaran. Tanpa perbaikan sistemik, bencana serupa bukan hanya mungkin terjadi lagi — tetapi dapat jauh lebih parah.***







