PANTAU LAMPUNG- Kasus hukum yang menjerat PT LEB memasuki babak baru dan semakin menjadi sorotan publik. Proses penetapan tersangka terhadap direksi dan komisaris perusahaan ini dinilai penuh kejanggalan, bahkan dituding sarat praktik kriminalisasi. Hal tersebut disampaikan langsung oleh kuasa hukum PT LEB, Riki Martim, SH, yang menilai bahwa proses penyelidikan hingga penyidikan berjalan jauh dari prinsip due process of law dan fair trial.
Menurut Riki, sejak proses penyelidikan dimulai setahun lalu, kliennya tidak pernah mendapat kejelasan mengenai perbuatan melawan hukum apa yang sebenarnya dituduhkan oleh penyidik. Selama pemeriksaan, pihaknya telah meminta dasar hukum penetapan tersangka, namun jawaban yang diterima justru mengejutkan.
“Saat pemeriksaan, klien kami menanyakan dasar penetapan tersangka, namun penyidik menyampaikan bahwa hal tersebut baru akan dijelaskan di persidangan nanti,” ujarnya.
Jawaban penyidik ini dianggap melanggar prinsip dasar penegakan hukum, karena seseorang hanya dapat ditetapkan sebagai tersangka jika sudah ada minimal dua alat bukti yang sah dan pemeriksaan calon tersangka dilakukan secara objektif dan transparan.
Riki juga menyoroti absennya dokumen resmi mengenai kerugian negara yang dijadikan dasar tuduhan tindak pidana korupsi. Hingga kini, tidak ada pemberitahuan nilai kerugian negara, bahkan hasil audit BPKP tidak pernah diperlihatkan kepada kliennya, baik saat diperiksa sebagai saksi maupun tersangka. Padahal dalam tindak pidana korupsi, keberadaan kerugian negara harus nyata, jelas, dan pasti.
“Dalam pemeriksaan, pertanyaan yang diajukan hanya seputar tugas pokok dan fungsi, mekanisme internal perusahaan, operasional, dan RUPS. Tidak ada pendalaman terkait dugaan tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, penetapan tersangka wajib memenuhi unsur dua alat bukti yang sah serta didahului pemeriksaan pihak yang bersangkutan. Hal ini bertujuan agar calon tersangka memiliki kesempatan menyampaikan bantahan, klarifikasi, hingga pembelaan diri. Namun dalam kasus PT LEB, prinsip tersebut disebut tidak dijalankan.
Lebih jauh, Riki menegaskan bahwa apa yang terjadi saat ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh kepastian hukum yang adil. Proses yang berjalan dinilainya mengabaikan prinsip transparansi, objektivitas, dan akuntabilitas dalam penegakan hukum.
Karena itu, pihak PT LEB akhirnya memutuskan untuk mengajukan gugatan pra peradilan. Langkah ini diambil demi memastikan bahwa proses hukum dijalankan secara benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Kami berharap melalui pra peradilan, kejelasan hukum dapat ditemukan dan klien kami memperoleh keadilan,” tutup Riki.
Kasus ini diprediksi akan menjadi perhatian publik, terutama karena menyangkut integritas proses hukum dan perlindungan hak-hak warga negara dalam menghadapi tuduhan pidana.***









