PANTAU LAMPUNG – Puisi Hikayat Sinar yang Disangkal karya Muhammad Alfariezie menghadirkan lanskap batin yang sangat lirih dan reflektif, menyingkap hubungan manusia dengan alam semesta sekaligus menyorot kesunyian eksistensial yang sering tak terlihat. Dalam puisi ini, dunia langit—bulan dan bintang—menjadi cermin bagi perasaan manusia, menghadirkan keheningan, kesendirian, dan ironi yang mengalir secara halus namun penuh makna.
Hikayat Sinar yang Disangkal
Bulan datang dengan kesendirian
yang begitu-begitu saja meski
bintang sedang bahagia dalam
rahasianya. Mungkin karena
bulan enggak pandai memanfaatkan
ruang walau matahari telah banyak
memberi sejak pagi hingga senja.
Sepertinya, langit musykil memilih
bulan sebagai penghias termulia.
Bulan, pantas menjadi lahan
tambang China
Sejak baris pertama, Bulan datang dengan kesendirian, Alfariezie mengajak pembaca menyelami ruang batin yang sepi namun akrab. Kesendirian bulan tidak sekadar gambaran kosmis; ia menjadi metafora dari kesendirian manusia yang terus mengulang rutinitas yang monoton.
Kontras dengan bulan, bintang digambarkan sedang bahagia dalam rahasianya, menyiratkan bagaimana dunia sering tampak meriah dan penuh warna bagi orang lain, sementara seseorang sendiri mungkin merasa terisolasi. Alfariezie memanfaatkan metafora ini untuk menekankan perbedaan antara kehidupan eksternal yang tampak gemilang dan kehidupan internal yang penuh keheningan dan kontemplasi.
Puisi ini bergerak dari lirisisme murni ke wilayah kontemplatif ketika bulan enggak pandai memanfaatkan ruang meski matahari telah banyak memberi. Sinar matahari menjadi simbol kesempatan, kebaikan, atau pemberian alam yang seharusnya bisa dimanfaatkan sepenuhnya. Namun bulan, sebagai simbol diri manusia, tetap merasa kurang, gagal, atau tidak memadai. Ungkapan ini menghadirkan ketegangan emosional: rasa bersalah, ketidakmampuan, dan kesadaran akan ketidaksetaraan yang melekat dalam hidup.
Selanjutnya, baris langit musykil memilih bulan sebagai penghias termulia menghadirkan ironi lembut yang tajam. Harapan akan pengakuan atau status istimewa seakan tertutup oleh realitas dunia yang tidak berpihak. Lirisisme puisi bukan hanya soal keindahan bahasa, tetapi juga medium untuk menyentuh ketidakadilan eksistensial dan perasaan inferioritas yang universal.
Puncak kejutan muncul pada baris terakhir: Bulan, pantas menjadi lahan tambang China. Pergeseran ini mengejutkan karena lirisisme yang lembut dibenturkan dengan realitas kapitalisme global dan eksploitasi sumber daya. Bahkan objek paling murni dan abstrak pun, dalam imajinasi penyair, tidak luput dari perebutan, konsumsi, dan logika dunia material. Ironi ini menekankan dualitas antara keindahan alam dan kekuatan destruktif manusia, memperkuat kesan getir dan kontemplatif dari keseluruhan puisi.
Melalui puisi ini, Muhammad Alfariezie tidak sekadar menggambarkan bulan atau langit, melainkan menyentuh kondisi manusia modern: kesepian yang tersembunyi, ketidakmampuan menerima kebaikan, serta konfrontasi dengan dunia yang tak selalu adil. Lirisisme menjadi jantung karya, menenun keindahan bahasa dengan refleksi mendalam tentang ketidakadilan, ironi zaman, dan eksistensi manusia.
Hikayat ini sekaligus menjadi panggilan bagi pembaca untuk merenungi hidupnya sendiri, menelusuri kesendirian dan ketidakberdayaan, serta menyadari bahwa di balik sinar dan keindahan, dunia memiliki dinamika yang kadang tak ramah dan penuh tantangan. Puisi ini membuka mata tentang bagaimana hal-hal yang tampak indah atau murni bisa saja rentan terhadap kekuatan eksternal dan perubahan zaman.***












