PANTAU LAMPUNG – Indonesia merayakan usia 80 tahun kemerdekaan. Sebuah perjalanan panjang yang diwarnai darah, perjuangan, dan doa para pendiri bangsa. Namun, di balik gegap gempita peringatan, muncul pertanyaan yang menggelitik nurani: apakah bangsa ini sungguh telah merdeka?
Pertanyaan itu dilontarkan oleh Octavianus Masheka, Ketua Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), yang juga dikenal sebagai penyair, deklamator, sekaligus pegiat sastra. Dalam keterangannya pada Rabu, 17 September 2025, Octa menegaskan bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya soal bebas dari penjajah, tetapi juga menyangkut kebebasan berpikir, berbicara, serta terbebas dari belenggu ketidakadilan dan kebohongan.
Untuk menggugat dan merayakan perjalanan 80 tahun Indonesia, TISI menggelar acara bertajuk “Mari Bertukar Tangkap dalam Sastra” di Aula PDS HB Jassin, Gedung Ali Sadikin, lantai 4 Taman Ismail Marzuki (TIM), Minggu 28 September 2025, pukul 13.30 WIB. Acara ini menghadirkan para penyair lintas generasi yang membacakan karya mereka sebagai refleksi terhadap makna kemerdekaan.
Deretan tokoh penting dunia sastra hadir, mulai dari Ahmadun Yosi Herfanda, Isbedy Stiawan ZS, Maman S. Mahayana, hingga Sofyan RH Zahid. Bahkan, “Presiden Penyair Indonesia” Sutardji Calzoum Bachri dan maestro puisi Jose Rizal Manua juga dipastikan tampil. Kehadiran mereka menjadi magnet yang membuat acara ini ditunggu-tunggu, bukan hanya oleh kalangan sastrawan, tetapi juga pecinta budaya dan masyarakat luas.
Octa menambahkan, para penyair diundang bukan sekadar untuk membaca puisi, melainkan menafsirkan ulang perjalanan bangsa melalui lensa sastra. “Seniman sejak dulu ikut berjuang memerdekakan republik lewat karya. Setelah 80 tahun merdeka, pertanyaannya: benarkah kita sudah merdeka? Antologi Bersama yang lahir dari acara ini semoga menambah khazanah sastra Indonesia,” ujarnya penuh harap.
Isbedy Stiawan ZS, salah satu penyair senior asal Lampung, dalam kesempatan terpisah mengungkapkan pandangan yang lebih tajam. Menurutnya, fenomena sosial politik Indonesia kini menunjukkan kaburnya batas antara fakta dan metafora. “Kenyataan di negeri ini sering disebut fiksi. Simbol-simbol dipakai untuk menutupi kesalahan dan ketidakadilan,” ujarnya.
Ia mencontohkan peristiwa kontroversial “polisi tembak polisi di rumah polisi” yang sempat mengguncang Indonesia beberapa tahun silam. Menurut Isbedy, narasi yang dibangun kala itu penuh metafora, seolah fiksi yang dirangkai dengan rapi. “Republik Puitik seakan menjalar ke tubuh kekuasaan. Bahasa simbolik yang seharusnya milik sastrawan kini dipakai pemimpin bangsa. Sampai-sampai hal sederhana seperti membuktikan ijazah palsu atau asli pun terasa begitu rumit,” katanya dengan nada getir.
Acara pembacaan puisi ini bukan hanya ruang perayaan, tetapi juga bentuk kritik tajam terhadap situasi bangsa. Sastra dijadikan medium untuk mengingatkan publik bahwa merdeka tidak boleh hanya jadi slogan, melainkan harus tercermin dalam kehidupan nyata: keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan rakyat.
Dengan menggali makna kemerdekaan lewat kata-kata, para penyair di PDS HB Jassin berupaya membangunkan kesadaran kolektif bahwa bangsa ini harus terus waspada agar tidak kembali dijajah—bukan oleh bangsa asing, tetapi oleh keserakahan, kebohongan, dan kemunafikan dari dalam negeri sendiri.***