PANTAU LAMPUNG- Praktisi hukum ternama Hendri Adriansyah SH MH kembali menyoroti dugaan penyimpangan dalam penjualan aset milik BUMD Wahana Raharja yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Lampung. Menurutnya, sebagai badan hukum publik, setiap tindakan pemindahtanganan aset daerah harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Penutupan informasi dalam proses ini dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
“UU KIP jelas memberikan hak masyarakat untuk mengetahui kebijakan yang berdampak luas. Badan publik wajib menyediakan informasi tersebut, kecuali yang memang masuk kategori dikecualikan. Jika menutup informasi, ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum,” tegas Hendri, Sabtu (14/9/2025).
Hendri menekankan pentingnya pengawasan independen terhadap proses penjualan aset ini. Ia meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Lampung untuk melakukan investigasi menyeluruh. Tujuannya adalah memastikan apakah transaksi tersebut merugikan keuangan negara atau masyarakat luas.
“Tidak hanya itu, DPRD Lampung juga harus segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menelisik regulasi yang dijadikan dasar hukum oleh Pemprov dalam proses penjualan ini. Transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati bagi pemerintah daerah,” tambah Hendri.
Dari perspektif hukum administrasi negara, Hendri menjelaskan bahwa langkah pemprov berpotensi dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Hal ini terjadi apabila kebijakan merugikan warga, menyimpang dari regulasi yang berlaku, atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
“Prinsip AUPB meliputi kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik. Dugaan pelanggaran dalam kasus ini menunjukkan sebagian besar prinsip itu tidak dijalankan oleh Pemprov Lampung,” jelas Hendri.
Hendri memaparkan setidaknya lima dugaan pelanggaran Pemprov Lampung terkait penjualan aset BUMD Wahana Raharja:
1. Menyalahgunakan kewenangan, misalnya menjual aset tanpa prosedur resmi dan tanpa persetujuan DPRD.
2. Tidak transparan, karena menutup akses informasi publik dan membatasi jurnalis serta masyarakat untuk mengawasi.
3. Tidak cermat, di mana keputusan dibuat tanpa kajian mendalam, berpotensi merugikan masyarakat dan anggaran daerah.
4. Mengabaikan kepentingan umum, misalnya hanya menguntungkan kelompok tertentu dengan penjualan tanpa appraisal atau di bawah harga pasar.
5. Melanggar kepastian hukum, karena tidak ada regulasi jelas yang mengatur prosedur penjualan aset tersebut.
Praktisi hukum ini menegaskan bahwa jika dugaan tersebut benar, Pemprov Lampung tidak hanya melakukan pelanggaran hukum administratif tetapi juga penyalahgunaan wewenang publik. Kerugian finansial maupun sosial akibat penjualan aset BUMD tanpa mekanisme transparan bisa berdampak panjang bagi masyarakat Lampung.
“DPRD harus segera mengambil tindakan tegas. Jangan sampai publik, yang seharusnya menjadi penerima manfaat dari aset daerah, justru dirugikan oleh kebijakan sepihak. Investigasi dan pengawasan independen menjadi kunci agar potensi kerugian tidak meluas,” tegas Hendri.
Kasus ini juga memunculkan pertanyaan penting tentang integritas dan akuntabilitas pemerintah daerah dalam mengelola aset publik. Publik Lampung kini menanti langkah kongkrit DPRD dan BPKP untuk menuntaskan persoalan ini, agar skandal penjualan aset BUMD Wahana Raharja tidak menjadi preseden buruk bagi pengelolaan keuangan daerah di masa depan.***