PANTAU LAMPUNG- Lampung kembali diguncang isu serius soal pengelolaan aset daerah. Kali ini, sorotan tertuju pada PT Wahana Raharja (WR), salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kebanggaan Pemprov Lampung, yang diduga melepas lahan seluas 97 hektare dengan nilai transaksi sekitar Rp3 miliar. Praktisi hukum Hendri Adriansyah, SH, MH menilai kasus ini bukan sekadar salah urus, melainkan berpotensi menyeret pihak-pihak terkait ke ranah pidana korupsi.
Menurut Hendri, penjualan aset negara atau daerah tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Ada mekanisme hukum yang wajib dipatuhi, mulai dari persetujuan DPRD, appraisal harga yang sesuai dengan standar, hingga transparansi proses lelang. Jika prosedur itu diabaikan, potensi kerugian negara terbuka lebar. “Aset daerah tidak bisa diperjualbelikan semaunya. Kalau mekanismenya tidak sesuai, ini jelas berpotensi menjadi tindak pidana korupsi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti persoalan fundamental: mengapa PT Wahana Raharja sampai terjerat kerugian hingga harus melepas aset? Hendri menilai lemahnya tata kelola BUMD adalah akar masalah yang membuat perusahaan daerah itu tak mampu memberi kontribusi signifikan bagi pendapatan asli daerah (PAD). “Pemprov Lampung harus terbuka, kenapa PT WR bisa merugi. Jangan-jangan ada praktik korupsi yang berlangsung lama di tubuh perusahaan,” katanya.
Kasus PT WR ini mengingatkan publik pada skandal yang pernah menyeret Dahlan Iskan saat menjabat Direktur PT Panca Wira Usaha, BUMD milik Pemprov Jawa Timur. Saat itu, pelepasan aset tanpa prosedur yang jelas menyebabkan kerugian negara hingga Rp11 miliar. Hendri menekankan, pengalaman pahit tersebut seharusnya menjadi peringatan keras bagi Pemprov Lampung agar tidak mengulang kesalahan serupa.
Lebih jauh, legalitas transaksi lahan 97 hektare ini juga dipertanyakan. Apakah DPRD Lampung sudah memberi persetujuan resmi? Apakah ada appraisal independen yang menentukan nilai aset sesuai standar pasar? Atau justru lahan itu dijual jauh di bawah harga sebenarnya, sehingga menguntungkan pihak tertentu dan merugikan rakyat Lampung? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab secara terang benderang oleh Pemprov.
Jika benar nilai lahan 97 hektare hanya sekitar Rp3 miliar, publik wajar curiga. Dengan kondisi pasar tanah yang terus melonjak, nilai tersebut dinilai terlalu rendah. Artinya, ada potensi permainan harga yang bisa berujung pada kerugian besar bagi daerah. “Jangan sampai aset rakyat dijadikan bancakan demi keuntungan segelintir orang,” ujar Hendri menambahkan.
Kasus ini menegaskan krisis tata kelola BUMD di Lampung. PT Wahana Raharja, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi daerah, justru terseret dalam dugaan praktik kotor yang merugikan rakyat. Padahal, BUMD memiliki peran strategis dalam meningkatkan PAD, membuka lapangan kerja, hingga memperkuat ekonomi lokal. Ketika asetnya justru dijual tanpa kejelasan, maka kepercayaan publik terhadap pengelolaan perusahaan daerah kian runtuh.
Kini, bola panas berada di tangan Pemprov Lampung dan aparat penegak hukum. Transparansi mutlak diperlukan agar dugaan penjualan aset ini tidak berakhir menjadi skandal yang menguap begitu saja. Apakah ini sekadar salah urus, atau sudah menjadi praktik sistematis korupsi yang merugikan rakyat?
Rakyat Lampung berhak tahu kebenarannya. Karena jika aset seluas 97 hektare benar-benar dilepas tanpa mekanisme yang sah, maka yang dirugikan bukan hanya pemerintah, melainkan seluruh masyarakat yang kehilangan hak atas kekayaan daerah.***