PANTAU LAMPUNG- Seiring berjalannya waktu, pola-pola muncul untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di berbagai sektor masyarakat. Di dunia seni, seperti yang diungkapkan oleh pakar sastra Jawa, Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, S.J., ada tokoh-tokoh seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Japi Tambayong (Remy Sylado), Radhar Pancadahana, dan lainnya. Zoetmulder menyebut mereka sebagai Kalangwan dalam bukunya yang berjudul sama.
“Moralitas dari orang-orang Kalangwan sangat otonom, tidak bergantung pada kebenaran agama atau kekuasaan. Ciri-ciri Kalangwan selalu menonjolkan otonomi, dengan konsep diri yang sangat kuat. Dalam karya-karya seperti puisi Chairil Anwar atau buku Pramudya Anantatoer, penggunaan kata ‘aku’ memiliki makna ganda: sebagai ekspresi diri sendiri atau sebagai bagian dari kolektivitas,” kata Budayawan Taufik Rahzen dalam Diskusi Budaya berjudul “Peran Budayawan dalam Situasi Politik Masa Kini & Masa Depan: Melihat Kembali Jejak Chairil, Rendra, Hardi, dan Kita” di Teater Kecil TIM, Rabu (10/1/2023) malam.
Diskusi tersebut, yang dipandu oleh penyair Amien Kamil, juga menampilkan pembicara wartawan senior Bre Redana dan perupa Arahmaiani. Hadir pula seniman Butet Kartaradjasa, penyair Jose Rizal Manua, budayawan Isti Nugroho, dan politikus Miing Deddy Gumelar. Diskusi ini diadakan oleh kelompok semiman dan budayawan sebagai tanggapan terhadap perkembangan sosial politik saat ini.
Taufik Rahzen menambahkan bahwa bagi Kalangwan, keindahan merupakan bagian tak terpisahkan dari tempat mereka berada. Meskipun berbeda-beda, kebenaran bagi Kalangwan tetap satu.
“Masyarakat Nusantara selalu bertegangan antara kekuasaan dan agama. Budayawan dan seniman cenderung memilih jalur keindahan dan kurang peduli terhadap kekuasaan,” ujar Taufik.
Dalam konteks karya seni, Bre Redana menjelaskan bahwa sikap dan karya-karya WS Rendra dan Hardi tidak lepas dari pengaruh perguruan silat tempat mereka berlatih, yaitu Perguruan Bangau Putih. Menurut Bre, Hardi adalah seorang pelukis yang kritis namun kompromis. “Dia dapat mengkritik pemerintah namun juga bisa menjual lukisannya kepada orang yang dikritiknya,” ungkap Bre.
Sementara itu, WS Rendra banyak memasukkan pengaruh filsafat Taoisme dari perguruan Bangau Putih. Arahmaiani, seorang perupa, menyatakan bahwa WS Rendra sangat mempengaruhi sikap dan pola pikirnya setelah mereka bertemu pasca pembebasan WS Rendra dari penjara pada tahun 1983.
“Setelah bertemu WS Rendra, saya diberi dua buku oleh Mas Willy, salah satunya Kitab Pararaton. Saya tertarik pada budaya dan tradisi, terutama saat melihat bagaimana budaya Jawa dipelintir oleh penguasa di era Soeharto,” kata Arahmaiani.
Arahmaiani juga menyoroti tantangan yang dihadapinya sebagai perupa yang terlibat dalam isu-isu kontroversial. “Pada tahun 1994, saat pameran di tempat Ray Sahetapy, saya mendapat ancaman karena karya saya yang berjudul Lingga Yoni. Saya akhirnya harus melarikan diri karena kelompok semacam itu sulit diberi penjelasan,” tambahnya.
Menurut Arahmaiani, satu-satunya isu yang dapat mempersatukan kelompok-kelompok saat ini adalah isu lingkungan, sementara isu-isu lain masih sulit untuk disatukan.***