PANTAU LAMPUNG– Masalah sampah di Kabupaten Pringsewu kian memprihatinkan, dan penanganannya membutuhkan inovasi serta pendekatan yang jauh berbeda dari cara konvensional. Direktur Lembaga Konservasi 21 (LK 21) Provinsi Lampung, Ir. Edy Karizal, menekankan pentingnya penggunaan teknologi ramah lingkungan untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah di daerah ini.
Dalam wawancara dengan wartawan pada Senin (3/11/2025), Edy menegaskan bahwa pengelolaan sampah saat ini masih mengandalkan sistem lama, yakni pengumpulan sampah ke TPS atau TPA sebelum diolah, yang terbukti tidak efektif dan menimbulkan biaya tinggi. “Mengelola sampah sedikit saja tanpa strategi dan teknologi yang tepat akan menjadi masalah yang tidak pernah selesai. Konsep lama hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya,” jelas Edy.
Biaya operasional TPA konvensional memang besar. Selain membutuhkan lahan luas, juga memerlukan kendaraan pengangkut dan alat berat seperti ekskavator. Namun menurut Edy, metode ini tidak menyelesaikan persoalan karena sampah yang dibakar masih menyisakan material yang sulit terurai, menimbulkan polusi udara, dan berisiko terhadap kesehatan masyarakat.
Pengelolaan Sampah Dimulai dari Hulu
Edy menekankan pentingnya pengelolaan sampah dari tingkat hulu, yaitu di desa, RT, atau RW. Setiap wilayah harus mampu memusnahkan atau mengelola sampah di tempatnya sendiri. Terdapat tiga langkah utama yang bisa diterapkan:
1. Sampah campuran yang tidak bisa dipilah dimusnahkan menggunakan teknologi murah dan beremisi minimal.
2. Sampah bernilai ekonomi dimanfaatkan kembali atau dijual untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Sampah organik diolah menjadi pupuk, pakan ternak atau ikan, dan dikembangkan untuk budidaya ulat maggot sebagai sumber protein alternatif.
“Kuncinya adalah teknologi yang murah, mudah diaplikasikan, dan ramah lingkungan. Inilah konsep pengelolaan sampah yang baik dan benar,” tegas Edy.
Inovasi IMC 21: Solusi Sampah Desa
Sebagai langkah nyata, LK 21 menciptakan alat pemusnah sampah bernama Innovation Minimum Carbon 21 (IMC 21). Teknologi ini mampu mengolah sampah tidak terurai dengan pembakaran ramah lingkungan yang minim emisi. IMC 21 terdiri dari empat komponen utama:
1. Tungku pembakaran untuk mengubah sampah menjadi abu.
2. Kondensor yang menyaring asap dan mengubahnya menjadi liquid smoke yang bisa dimanfaatkan sebagai pestisida.
3. Sistem penyaringan asap agar hampir tidak ada polusi yang terlepas ke udara.
4. Kompor uap yang menggunakan bahan bakar alternatif, seperti minyak jelantah, sehingga lebih ekonomis.
Alat IMC 21 berukuran 1 x 1 x 2 meter kubik dan hanya membutuhkan setengah gelas minyak jelantah sebagai tambahan bahan bakar. Biayanya jauh lebih murah dibandingkan incinerator konvensional yang membutuhkan investasi besar dan menghasilkan emisi karbon tinggi. “IMC 21 dirancang untuk mengurangi polusi udara sekaligus menjadi solusi nyata pengelolaan sampah di tingkat desa,” ujar Edy.
Dukungan dan Komitmen Pemerintah Daerah
Edy menekankan bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah. Ia menyarankan Pemerintah Kabupaten Pringsewu membuat regulasi, misalnya Peraturan Bupati (Perbup), yang memungkinkan desa menggunakan sebagian Dana Desa (DD) untuk pengelolaan sampah. Dengan kebijakan ini, setiap desa dapat memiliki alat IMC 21 dan mengelola sampah secara mandiri.
Jika seluruh desa berhasil mengelola sampah di wilayahnya masing-masing, Pringsewu tidak lagi bergantung pada TPA Bumi Ayu yang menggunakan sistem open dumping dan membutuhkan biaya miliaran rupiah setiap tahun. Pendekatan ini diyakini tidak hanya mengurangi beban anggaran, tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah dan menjaga lingkungan.
Edy menambahkan, “Ini bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi perubahan budaya dalam pengelolaan sampah. Dengan dukungan pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat, Pringsewu bisa menjadi contoh pengelolaan sampah modern yang efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.”***











