PANTAU LAMPUNG – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai kebijakan unggulan pemerintah kini kembali diterpa sorotan tajam. Kali ini, bukan soal kasus keracunan, melainkan dugaan penyaluran yang cacat prosedur. Fakta mencengangkan terungkap di Kecamatan Way Halim, Bandar Lampung, pada Selasa, 30 September 2025, ketika SMA Siger 2 yang diketahui belum memiliki izin resmi dan belum terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), ternyata ikut menerima jatah MBG.
Temuan ini memicu polemik besar. Pasalnya, masih banyak sekolah lain yang sudah sah terdaftar dalam sistem pendidikan nasional, bahkan telah berakreditasi, namun hingga kini belum menikmati program makan bergizi yang didanai langsung dari APBN. Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana mungkin sekolah ilegal bisa didahulukan dari sekolah resmi yang sudah memenuhi regulasi?
Seorang guru perempuan yang mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia di SMA Siger 2 memberikan kesaksian mengejutkan. Ia menyebut pembagian MBG untuk murid-murid SMA Siger 2 dilakukan bersamaan dengan siswa SMP Negeri 44 Bandar Lampung. “Makanannya enak-enak kok, sesuai standar makan bergizi. Kami satu dapur dengan murid SMP Negeri 44,” ungkapnya. Meski demikian, guru tersebut enggan mengungkap lebih jauh detail teknis pembagian, dengan alasan takut salah bicara.
Fakta ini menimbulkan banyak pertanyaan publik. Bagaimana standar kurikulum SMA Siger 2 dijalankan, mengingat sekolah tersebut memanfaatkan guru SMP untuk mengajar di tingkat SMA? Apakah benar guru honorer dari sekolah negeri dijadikan pengajar sementara di sekolah yang belum berizin? Dan lebih krusial lagi, siapa sesungguhnya pihak yayasan yang menaungi sekolah ini, termasuk dapur MBG yang menyalurkan makanan untuk siswa?
Dari sisi regulasi, praktik ini jelas janggal. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan setiap satuan pendidikan memiliki izin operasional serta tercatat dalam Dapodik. Tanpa itu, proses pembelajaran dianggap ilegal, dan hasil pendidikan termasuk ijazah siswa berpotensi tidak sah. Namun, justru sekolah Siger 2 bisa mendapatkan alokasi MBG yang nilainya ditaksir mencapai Rp12 juta per bulan. Dana tersebut digelontorkan negara tanpa prosedur jelas, sehingga memperkuat dugaan adanya praktik maladministrasi bahkan potensi penyalahgunaan anggaran.
Skandal ini kian mencurigakan setelah pihak Plh Kepala Sekolah SMA Siger 2, Udina, sulit dikonfirmasi. Saat awak media berusaha menghubungi melalui WhatsApp, pesan tak pernah direspons, meski status akun tersebut aktif memperbarui postingan. Di sisi lain, sebuah mobil Daihatsu Rush putih kerap terlihat terparkir di halaman sekolah, seolah menandakan aktivitas internal tetap berjalan, tetapi akses informasi ke publik ditutup rapat.
Kondisi ini memperlihatkan adanya pola ketertutupan yang tidak sehat dalam pengelolaan sekolah. Padahal, dalam sistem demokrasi, pers memiliki fungsi kontrol publik, terlebih ketika menyangkut kebijakan yang bersumber dari keuangan negara. Lebih jauh, sistem pendidikan seharusnya transparan agar masyarakat dapat menilai apakah penyelenggaraannya benar-benar sesuai aturan atau justru sarat kepentingan politik.
Kontroversi SMA Siger 2 sekaligus membuka luka lama terkait kebijakan pendidikan di Bandar Lampung di bawah kepemimpinan Wali Kota Eva Dwiana yang kini dijuluki “The Killer Policy”. Kritikan mengemuka bahwa sekolah-sekolah bentukan Eva sering kali terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan prosedur hukum, sementara publik dibiarkan bingung dengan status legalitasnya.
Kini publik menunggu langkah tegas dari aparat penegak hukum dan lembaga pengawas, baik di tingkat daerah maupun pusat. Apakah kasus ini akan masuk daftar panjang skandal Makan Bergizi Gratis dan sekolah ilegal di Lampung? Atau justru kembali tenggelam tanpa penyelesaian yang jelas?***