PANTAU LAMPUNG– Polemik terkait habisnya masa berlaku Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan seluas 2.400 hektare di wilayah tanah ulayat milik masyarakat adat Kecamatan Abung Timur dan Kotabumi Utara, Kabupaten Lampung Utara (Lampura), kembali memantik perhatian publik. Ketua LSM Komite Pemantau Legislatif Daerah (Kota Lada), Dedy Hataf, SE, yang akrab disapa Kiyai Dedy, menegaskan bahwa pemerintah daerah dan legislatif tidak boleh berdiam diri, melainkan harus segera mengambil langkah tegas.
Menurut penjelasan Dedy, masa berlaku HGU beberapa perusahaan telah berakhir sejak 31 Desember 2019. Hingga kini, indikasi perpanjangan izin belum terlihat jelas dari pemerintah daerah maupun pusat. Bahkan, beberapa perusahaan masih diduga tetap melakukan penggarapan lahan meski izin HGU telah habis. Situasi ini menimbulkan kegelisahan di masyarakat, khususnya para pemilik tanah ulayat yang merasa hak-haknya diabaikan.
Beberapa waktu lalu, DPRD Kabupaten Lampung Utara telah melakukan hearing bersama perwakilan masyarakat serta pihak perusahaan. Namun, hasil dari pertemuan itu dinilai tidak membuahkan tindak lanjut konkret. Pemerintah daerah maupun DPRD melalui komisinya dianggap lamban dalam menindaklanjuti temuan dugaan pelanggaran tersebut. “DPRD sudah melakukan hearing, tapi sampai sekarang belum ada tindakan nyata kepada perusahaan yang masih menggarap lahan. Padahal tim investigasi kami melihat jelas adanya aktivitas penggarapan menggunakan alat berat di lahan yang masa HGU-nya sudah habis,” ungkap Kiyai Dedy.
Ia menekankan bahwa pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah Lampung Utara harus menyikapi persoalan ini dengan serius. Keterlambatan mengambil keputusan berisiko memperkeruh suasana di wilayah yang masih bersengketa. Berdasarkan SK Bupati Nomor AG: 200/B.86/SD.II/HK/1980, tanah enclava seluas 3.139 hektare yang terbagi ke dalam 37 persil, hingga kini belum juga dikembalikan. Selain itu, masih terdapat tanah milik masyarakat yang sampai hari ini berstatus sengketa dan belum mendapat penyelesaian.
Dedy juga mengingatkan bahwa permasalahan ini semakin jelas ketika merujuk pada SK Gubernur Lampung Nomor G/333/B.IX/HK/1999. Dalam aturan itu, disebutkan peruntukan tanah hanya untuk TNI AL KIMAL dan pemukiman seluas 2.671 hektare. Dengan habisnya izin HGU, seharusnya pemerintah segera menghentikan segala aktivitas perusahaan di lahan tersebut agar tidak terkesan ilegal. “Dasarnya jelas, kalau HGU sudah habis, maka perusahaan tidak punya legitimasi untuk menggarap lagi. Kalau dibiarkan, masyarakat bisa menilai seolah ada pihak-pihak tertentu yang kebal hukum,” tegas Kiyai Dedy.
Ia juga menambahkan bahwa ketidaktegasan pemerintah berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Warga yang merasa lahannya dirampas tanpa dasar hukum kuat bisa melakukan aksi penolakan yang berujung ketegangan di lapangan. Karena itu, ia menuntut adanya langkah cepat berupa penghentian aktivitas perusahaan, audit menyeluruh terkait legalitas lahan, hingga penegakan hukum terhadap pihak yang terbukti melanggar.
“Pemerintah harus hadir untuk memberikan kepastian hukum. Jangan biarkan masyarakat terus berspekulasi. Jika hal ini terus berlarut-larut, bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan keadilan di Lampung Utara. Kami dari Kota Lada akan terus mengawal persoalan ini sampai tuntas,” tutupnya.***