PANTAU LAMPUNG— Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) resmi memberhentikan Fery Triatmojo dari posisinya sebagai Komisioner KPU Kota Bandar Lampung. Keputusan tersebut diambil dalam sidang putusan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dengan nomor perkara 83-PKE-DKPP/V/2024 yang digelar pada Senin (2/9/2024).
Fery Triatmojo terbukti melanggar berbagai pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2/2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Sidang yang dipimpin oleh M. Tio Aliansyah ini mengungkapkan bahwa Fery tidak mampu menjaga integritas dan kemandirian sebagai penyelenggara pemilu, serta merusak citra dan kredibilitas hasil pemilu.
*Kronologi Kasus Suap*
Kasus ini bermula dari aduan Ketua Bawaslu Provinsi Lampung, Iskardo P. Panggar, dan enam anggota Bawaslu lainnya — Suheri, Imam Bukhori, Tamri, Ahmad Qohar, Gistiawan, dan Hamid Badrul. Mereka melaporkan Fery Triatmojo atas dugaan suap yang diterima dari calon legislatif DPRD Kota Dapil IV, M. Erwin Nasution.
Menurut laporan, Fery diduga menerima uang sebesar Rp530 juta dari Erwin dalam empat kali pembayaran: 5 Januari 2024, 2 Februari 2024, 10 Februari 2024, dan 18 Februari 2024. Suap ini diberikan dengan iming-iming perolehan suara tertentu agar Erwin bisa lolos menjadi anggota DPRD Kota Bandar Lampung.
Dalam prosesnya, Fery juga diduga melibatkan Ketua Panwaslu Kecamatan Way Halim dan Ketua Panwaslu Kecamatan Kedaton, masing-masing mendapatkan uang Rp50 juta, untuk memanipulasi perolehan suara.
*Tanggapan Teradu*
Fery Triatmojo membantah seluruh tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Ia mengklaim selalu mematuhi ketentuan Undang-Undang dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu, serta menegaskan tidak pernah menjanjikan atau meminta uang untuk pengaturan hasil pemilu.
“Saya selalu menjunjung tinggi ketentuan Undang-Undang dan tidak pernah terlibat dalam praktik suap,” ujar Fery. Ia juga mengkritik kualitas bukti yang diajukan oleh pengadu, menyebutkan bahwa tuduhan yang ditujukan kepadanya tidak didukung oleh bukti yang kuat.
“Dari seluruh saksi yang dihadirkan, tidak ada yang memberikan bukti nyata atau kesaksian langsung mengenai tuduhan ini. Tuduhan ini hanya berdasarkan cerita dan media sosial,” tambahnya.
Kasus ini mencerminkan tantangan dalam menjaga integritas penyelenggara pemilu dan memperkuat transparansi dalam proses demokrasi di Indonesia.