PANTAU LAMPUNG – Skenario ambisius KIM Plus, yang dirancang untuk menggagalkan PDIP dan Anies Baswedan di Pilkada Serentak 2024, berakhir dalam huru-hara setelah gelombang protes rakyat yang menentang sikap brutal DPR dalam membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
KIM Plus dan Skema Menjegal
Strategi KIM Plus, yang terdiri dari koalisi partai-partai besar, bertujuan untuk memblokir langkah PDIP dan Anies Baswedan, terutama dalam Pilkada Jakarta. Dengan menggiring Ridwan Kamil-Suswono sebagai calon tunggal melawan kotak kosong, KIM Plus berharap bisa menciptakan situasi di mana Anies tidak memiliki pesaing kuat.
Koalisi ini, yang terdiri dari partai-partai pendukung Prabowo Subianto, sempat memperluas dukungannya dengan bergabungnya Nasdem, PKB, dan PKS, membentuk KIM Plus. Nasdem resmi bergabung pada 15 Agustus 2024, disusul PKB dan PKS yang sebelumnya berada di jalur oposisi.
Penolakan Terhadap KIM Plus
PDIP mengecam langkah KIM Plus, terutama dengan munculnya calon dari jalur perseorangan seperti Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang dianggap sebagai “calon boneka”. Meski ada laporan pencatutan NIK, KPU Jakarta tetap meloloskan pasangan tersebut.
Di beberapa provinsi, KIM Plus juga berusaha mengatur agar kandidat yang mereka usung melawan kotak kosong untuk menutup peluang PDIP. Dalam kotak kosong, calon tunggal dianggap menang jika meraih lebih dari 50 persen suara sah.
Angin Perubahan dari MK
Tiba-tiba, angin perubahan muncul dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengguncang rencana KIM Plus. Pada 29 Mei 2024, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Partai Garuda untuk mengubah aturan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur dari 30 tahun terhitung sejak penetapan menjadi saat pelantikan.
Pada 27 Juni 2024, Partai Buruh dan Partai Gelora menggugat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait ambang batas 25 persen, yang dianggap merugikan hak konstitusi mereka. MK mengabulkan gugatan tersebut pada 20 Agustus, memutuskan bahwa partai atau gabungan partai politik bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi DPRD, dan menolak pengubahan syarat usia minimum calon kepala daerah.
Manuver DPR dan Protes Rakyat
Merespons putusan MK, DPR melalui Baleg berupaya menganulir ketetapan tersebut dengan merevisi UU Pilkada tanpa mengacu pada keputusan MK. DPR tetap menetapkan syarat ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu sebelumnya, dan mengadopsi putusan Mahkamah Agung terkait batas usia calon.
Langkah DPR ini memicu protes dari berbagai kalangan, termasuk aktivis, buruh, mahasiswa, dan selebritas, yang mengungkapkan ketidakpuasan mereka melalui media sosial dengan tagar #KawalPutusanMK. Demonstrasi besar-besaran pun digelar pada 22 Agustus 2024, di Jakarta, Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Jawa Barat, menolak pengesahan revisi UU Pilkada.
Kendala Pengesahan dan Kritik Megawati
Rapat Paripurna DPR untuk mengesahkan revisi UU Pilkada pada 22 Agustus 2024 batal karena tidak memenuhi kuota anggota. DPR akhirnya menyatakan tunduk pada putusan MK, menghentikan huru-hara KIM Plus dan meruntuhkan rencana Kaesang untuk maju di Pilgub Jateng.
Dalam pengumuman rekomendasi kandidat PDIP Jilid II di DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri juga melontarkan sindiran tajam kepada Presiden Jokowi, menyinggung upaya manipulasi hukum yang dinilai merugikan demokrasi. “Sudahlah, sudah mau selesai, selesai saja,” sindir Megawati, yang dipahami sebagai kritik terhadap Jokowi.
Dengan terhentinya rencana KIM Plus dan perubahan keputusan dari MK, lanskap politik Pilkada 2024 kini memasuki babak baru yang penuh ketidakpastian.