Bandar Lampung (PL) – Beberapa hal bisa ditoleransi berdasar tingkat urgensi, tapi tidak untuk asupan oksigen manusia di tengah kemajuan teknologi industri dan transportasi. Emisi gas rumah kaca merebak di sebagian kota-kota Indonesia. Presiden Joko Widodo sendiri merasakan dampaknya. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Manparekraf) Sandiaga Uno mengatakan, empat pekan sudah Presiden Republik Indonesia batuk-batuk imbas kualitas udara buruk di Jakarta.
“Presiden sendiri sudah batuk, katanya sudah hampir empat minggu. Beliau belum pernah merasakan seperti ini dan kemungkinan, dokter menyampaikan ada kontribusi daripada udara yang tidak sehat dan kualitasnya buruk,” katanya, Senin (14/8) berdasar jejak digital.
Joko Widodo yang merasakan sendiri akibat polusi udara, bahkan memanggil para menteri untuk rapat terbatas. Diperintahkannya kepada kementerian hingga lembaga terkait untuk intervensi meningkatkan kualitas udara.
Waw, sedemikian urgen ya kualitas udara. Itu di Jakarta, bagaimana dengan di kota Bandar Lampung?
Tahun 2022 saja, catatan Lembaga IQ Air menempatkan kota Bandar Lampung peringkat 8 udara terburuk se-Indonesia. Belum nanti andai mencapai target metropolitan. Sekarang saja sungai-sungai telah mencemari udara di sebagian pemukiman warga, debu-debu telah mencemari oksigen pengendara (jarang pejalan kaki di Bandar Lampung), limbah industri telah mencemari oksigen warga di pemukiman padat penduduk, sampah-sampah telah menyebar bau di pesisir.
Oh My God, mengapa gen Z tidak terkejut? Naif dan itu benar. Tak sekali pun sosialisasi masif kualitas udara terdengar publik. Tau-tau, presiden telah mengeluh dan tau-tau ada warga Bandar Lampung menderita ISPA.
Salah satu strategi jangka panjang mengurangi dampak industri dan transportasi bagi lingkungan dan kesehatan adalah membangun RTH publik bersarana olahraga dalam tiap area kelurahan atau minimal kecamatan.
Dosen arsitektur lanskap Institut Teknologi Sumatera Dr. Muhammad Saddam mengatakan pada 9 Juli 2023. Salah satu penentu ketahanan kota dari dampak lingkungan ialah membangun Ruang Terbuka Hijau.
“Sesuai amanat peraturan menteri agraria dan tata ruang, setiap kota atau kabupaten harus ada RTH minimal 20%. Tapi alamainya bahwa kota itu akan bertahan salah satunya dengan adanya RTH sehingga Bandar Lampung memerlukan pembangunannya,” tutur Dr. Saddam.
Luas RTH di kota Bandar Lampung tidak mandek, tapi malahan anjlok. Akademisi itu menyampaikan data dari sistem informasi pengelolaan sampah nasional tahun 2022. Drastis, RTH di Bandar Lampung dari 2.150 hektar atau 12% sesuai luas wilayah pada tahun 2012 menjadi hanya 601,8 hektar atau 3% saja sejak tahun 2022. Bahaya, warga Bandar Lampung mau tidak mau berolahraga di pinggir jalan, bahkan jogging di pinggir jalan penuh motor dan mobil serta kereta babaranjang.
Minimnya area hijau untuk berolahraga di Bandar Lampung ini juga dampak mengamini area pertanian, kuburan dan taman atap di hotel atau gedung-gedung sebagai Ruang Terbuka Hijau.
RTH publik ideal adalah area hijau banyak tertanam penghasil O2, salah satunya pohon akasia yang mengeluarkan oksigen perhari mencapai 43 kilogram. Akasia juga mampu menyerap CO2 sampai 1 ton sehari.
“Walah, nikmatnya berolahraga dalam RTH publik demikian.”
Suatu gebrakan yang diapresiasi akademisi dalam persiapan menuju metropolitan ialah membangun RTH publik bersarana olahraga di tiap kelurahan atau minimal lingkup kecamatan. Alasannya sangat fundamental. Selain berfungsi ekologis, RTH publik berperan menunjang aktifitas sosial budaya.
“Pembangunan RTH di tiap kelurahan atau kecamatan tidak berlebihan, justru itu gebrakan yang sangat baik mengingat fungsi pentingnya tak hanya untuk ekologi tapi juga sosial, budaya hingga ekonomi. Saat ini kan itu yang masih minim diakomodir,” ungkap Dr. Saddam.
Ditunggu, peran penting pemerintah mengembangkan kerja-kerjanya bagi lingkungan sehat untuk masa depan hebat. (*)