BANDAR LAMPUNG, Pantaulampung.com– Diiskusi rutin Satu Malam 27an di Gedung Graha Kemahasiswaan Lt. 1 Universitas Lampung menghadirkan dua pembicara penting dari kalangan kampus untuk membicarakan soal Kebudayaan Lampung dari perspektif akademisi.
Diskusi terbuka atas inisiasi bersama KAULA, Komunitas Berkat Yakin (KoBer) dan UKMBS Unila ini dihadiri segenap pemerhati budaya di Lampung.
Dr. Faurani I Santi Singagerda, S.E, M.Sc., selaku Dosen IIB Darmajaya, dan Edi Siswanto, M.Pd, selaku Dosen FKIP Universitas Lampung adalah dua tokoh akademisi yang didaulat menjadi pembicara.
Dialog terbuka dipandu oleh Neri Juliawan, Pegiat Budaya dan pemerhati pembangunan desa provinsi Lampung.
Dikatakan oleh Faurani, nilai-nilai budaya Lampung bisa menjadi pertahanan kita dalam menghadapi gempuran budaya asing yang makin menggelora di tengah derasnya arus informasi saat ini.
Faurani menyayangkan bahwa disaat orang Lampung Asli makin sedikit jumlahnya, justru malah banyak orang Lampung yang tidak bangga untuk mengakui dirinya orang Lampung. Lebih memprihatinkan lagi, tidak banyak yang mengerti dan memahami falsafah Lampung Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri dimaknai secara sempit dan dangkal. Menyamakan makna ‘Piil’ dengan gengsi.
Menurutnya, sebagai akademisi kita seharusnya bisa memberikan pendidikan yang benar pada generasi muda saat ini.
“Lampung sesungguhnya memiliki kekayaan nilai tradisi dan budaya yang layak menjadi counter culture, yaitu Piil Pesenggiri. Namun akhir-akhir ini, falsafah luhur itu telah banyak disalahartikan,” ujarnya, Minggu (27/8/2023).
“Misal, banyak orang Lampung menyamakan ‘Piil’ dengan gengsi, enggak mau kalah unggul harta/materi dan sebagainya. Inilah yang musti diluruskan kembali. Tugas kita sebagai orang tua, dan khususnya saya sebagai akademisi, ialah memberikan pendidikan ini ke anak-anak kita,” tambah Faurani.
Edi Siswanto, dosen muda (Putra Lampung Asli Way Kanan) mencoba mendiskursuskan nilai budaya lokal ke ranah budaya dalam lingkup lebih luas yakni Indonesia. Dalam kaitan ini, Piil Pesenggiri sejatinya mampu berkorelasi dengan Pancasila.
Secara politis, Piil Pesenggiri mampu menjadi pijakan kita dalam menghadapi ‘peperangan’ budaya di era sekarang.
“Piil Pesenggiri tidak mengagungkan nilai yang menonjolkan adanya ‘aku individual’ (saya) melainkan ‘aku sosial/komunal’ (kami/kita). Jika ada orang Lampung yang sukses, tapi tidak turut menyukseskan kelompoknya/komunitasnya maka bisa dikatakan orang itu tidak punya Piil,” ujar Dosen PPKN itu.
Merespon ujaran dari kedua pembicara, Bung Alex dari Gunung Terang Society, mengafirmasi fenomena yang telah disampaikan.
Alex menambahkan bahwa akademisi punya peran strategis dan penting. Bukan hanya menyoal transfer ilmu pengetahuan di perkuliahan, tapi juga harus mampu melakukan re-conditioning kebudayaan.
“Akademisi sesungguhnya memiliki posisi politis yang strategis,” ujar Alex tegas.
“Harus kita akui bahwa tafsir kita terhadap nilai-nilai budaya Lampung sudah tidak lagi memadai. Akibatnya, dengan mudahnya kita diserang oleh budaya asing, seperti K-POP misalnya. Berapa banyak generasi muda kita yang sekarang begitu fanatik memuja artis-artis K-POP? Lantas apa pandangan dan solusi yang dapat ditawarkan oleh akademisi di sini?” ujar Alex.
Menanggapi respon dari audien, Faurani menyampaikan bahwa kita patut belajar dari negara-negara yang cukup berhasil dalam konteks budaya, Korea Selatan misalnya. Mereka memiliki grand design strategi budaya sejak 30 tahun lalu.
Korsel memberi contoh konkrit keberhasilan dalam hal industrialisasi budaya. Pemajuan kebudayaan akan pesat jika kebudayaan bisa kita sandingkan dengan ekonomi, pembangunan kebudayaan bisa memberikan benefit kepada masyarakatnya,” tambahnya lebih lanjut.
“Yang harus dilakukan adalah kita semua di sini, akademisi, budayawan, seniman, dan politisi bersatu padu mendorong pemerintah untuk membuat grand design pemajuan kebudayaan yang tepat dan jitu, dan jangan hanya sibuk mengurusi pembangunan fisik semata,” ujarnya.
Fauzi