oleh

Perupa Handoyo Salafi Pameran Tunggal “FREEDOM”

SEMARANG, PL– Perupa Muchammad Handoyo Salafi a.k.a Ridho menaja pameran tunggal bertajuk : “FREEDOM” di TAN Artspace, Jalan Papandayan 11, Candisari, Semarang.

Gelaran pameran ini akan di buka Triyanto Triwikromo (Sastrawan dan Pimred Suara Merdeka) Jumat, (07/04/2023) Pukul 15.30 WIB – Selesai.

Menurut Handoyo “FREEDOM” merupakan proyek pameran tunggalnya, namun pada salah satu karyanya melibatkan anak-anak pinggir kali. Pameran seniman yang aktif berkesenian sejak tahun 2001 ini menekuni studi performance art, desain komunikasi visual, dan seni rupa ini akan berlangsung hingga 13 April 2023.

“Saya juga mengerjakan konsep dan analisa berbagai bentuk event kebudayaan berbasis komunitas. Metode berkesenian melalui pendekatan komunitas. Penciptaan karya seni sebagai penyampaian isu yang diinterpretasikan melalui bentuk visual,” jelasnya.

Ditambahkan lelaki kelahiran Tuntang, Kabupaten Semarang, tanggal 29 November 1982 ini, konsep karyanya adalah, seni sebagai satu keniscayaan terpenting bagi manusia. Karya seni memiliki keajaiban dalam menggerakan psikologis, karakter, bahkan perilaku manusia.

“Seniman adalah sutradara sekaligus pemeran yang memiliki keunikan, kreatifitas, dan rutinitas menarik untuk dikisahkan. Proses berkesenian adalah pencitraan (acting) yang menyenangkan, dan komunitas adalah sebuah ekosistem yang bisa dijadikan panggung penelitian,” imbuh seniman yang pernah kuliah di ASDI (Akademi Seni Desain Indonesia) Surakarta, dan DKV UNNES (Desain Komunikasi Visual Universitas Negeri Semarang) ini.

Handoyo mengatakan, pameran tunggalnya ini ditafsirkan sebagai cermin imajinasi senimannya. Penciptaan figur, bentuk, warna, ruang, disajikan dalam kesatuan khayal.

“Distorsi bentuk dibuat untuk menangkap ribuan fantasi diluar kesadaran. Adapun rasio permasalahan keseharian yang diutarakan, pasti telah ditorehkan secara naif,” ujar suami Maretha Miftakhul Hidayah ini.

Langgam Karya

Handoyo menandaskan lukisannya corak visualnya menganut aliran Art Brut, Raw Art, Cobra Art, Primitive Art, dan beberapa literasi tentang kebudayaan di Indonesia. Brut dan Raw adalah karya seni yang tercipta secara spontan atau direncanakan untuk mewakili perasaan seniman yang mengalami ganguan kejiwaan. Dari stres berkadar rendah karena lelah beraktifitas, hingga kegilaan yang sudah tak terkontrol karena traumatik. “Gaya ini didominasi dengan coretan kemarahan,” sambung Handoyo.

Selain itu,lanjut Handoyo, karya- karyanya juga dipengaruhi oleh literasi tentang kebudayaan di Indonesia. Semisal penafsiran ulang kepada gambar-gambar yang ditemukan di di Gua Leang Tedongge, Maros Sulawesi Selatan .

“Pameran ini saya tafsirkan sebagai cermin imajinasi manusia. Layaknya visual-visual yang tercipta dalam pewayangan dengan segala pretensi dan ilusinya. Bagi saya Wayang adalah bentuk imajinatif yang sudah melampaui batas nyata, namun tetap mampu membawa kebenaran-kebenaran melebihi akal sehat.” terangnya.

Menurut Handoyo dengan penggunaan bermacam media, dirinya bisa melalui banyak pengalaman bersifat eksperimen. Bisa dikembangkan menjadi treatment dalam proses kreatif selanjutnya. Menguraikan permasalah, kemudian menyusun kembali secara berulang, hingga menemukan permasalahan baru.

Setelah pandemi Covid – 19 berlalu, seniman leluasa mengekspresikan konsep. Reaksi masyarakat meningkat, terlihat pada pameran-pameran dengan jumlah pengunjung memenuhi ruang pamer.

“Tahun 2023 merupakan momentum perubahan ekosistem seni rupa. Bagi saya era ini adalah perayaan suka-cita menikmati kebebasan berkesenian (artistic freedom). Kebebasan artistik dengan pemahaman sebagai kebebasan untuk berimajinasi, berkreasi, dan mendistribusikan beragam ekspresi budaya,” ujar aktivis seni ini.

Handoyp mengesakna menjadi hak bagi semua warga negara untuk memiliki akses ke pekerjaan seni. Menjadi sangat penting karena seni adalah bidang yang telah menopang kesejahteraan masyarakat melalui potensi kebudayaannya.

Sebagai seniman Handoyo memilih berdekatan dengan gerakan masyarakat sipil, baik yang dikerjakan secara mandiri maupun kolaborasi. Tidak semua konsep berkesenian mengarah ke problematika, ketimpangan, dan kesedihan.

“Terkadang saya lebih fokus ke pencarian solusi alternative. Atau sekedar menghadirkan hal ringan, semisal dengan tamasya dan bermain bersama untuk menegembalikan kecintaan publik pada seni,” ujarnya.

Sedangkan tujuan dari pamerannya ini Handoyo, ingin bisa membuat apresian terhanyut dalam imajinasi dengan pengalaman-pengalaman baru secara visual. Pada proses dan pelaksanaan pamerannya ini, Handoyo melibatkan anak-anak dan relawan. Mereka adalah anak-anak dari pinggir kali Pasar Johar di Kampung Sumeneban – Kauman, Kota Semarang.

Bersama Relawan Komunitas Harapan, anak-anak ini telah membuat karya kolaborasi berupa 100 kolase coretan hasil workshop pengenalan dasar-dasar seni rupa. Kolase ini juga dipamerkan sebagai background disaat mereka melakukan Art Performance.

“Melalui pameran ini mari kita bersama-sama berkisah tentang titik dan garis, tentang kebebasan berimajinasi, dan tentang bentuk figur serta ruang dalam kesatuan yang estetis. Selamat mengapresiasi,” ujar Handoyo mengunci perbincangan.