Walikota Berganti Tapi Sembraut Pasar Gintung dan SMEP “Enggak Da Obat”

Bandar Lampung72 Dilihat

Awal mula, banyak pemasok sayuran dari berbagai daerah berhenti dan menjajakan dagangannya di sekitaran jalan Imam Bonjol, Bandar Lampung. Tempat mangkal itu serakang kita kenal Pasar Pasir Gintung.

Maklum, kawasan Tanjung Karang merupakan cikal bakal didirikannya atau dibentuknya kota Bandar Lampung. Bisa jadi, waktu itu pemasok sayuran mencari peruntungan di pasar Gintung karena letaknya strategis. Baru setelah itu mengantar pasokan ke luar daerah.

Kemudian ada lagi satu pasar yang keberadaannya di dekat pasar Gintung, yakni pasar SMEP. Nama pasar SMEP diambil karena dulu lokasi yang dijadikan tempat transaksi jual beli itu merupakan sekolah menengah ekonomi pertama.

Namanya pasar, selalu ramai. Tapi di Zaman modern ini, masih layakkah kata “kumuh” kita sematkan dengan pasar tradisional?

Ferdy Gunsan, warga sekitar mengeluhkan kemacetan serta kesembrautan tata kelola pasar Gintung dan SMEP. Aliran got berwarna hitam berbau sangat meresahkannya sebagai warga.

“Puluhan tahun berganti Walikota tapi belum ada solusi. Entah ini dipikirkan atau sengaja dibiarkan,” tuturnya.

Denger-denger, pemerintah tidak berani menertibkan PKL lantaran dijadikan “senjata” politik, alias menarik pemilih untuk memenangkan pemilu.

Barangkali, penguasa bisa membuatkan KTP pedagang dari Lamsel dan Pesawaran sebagai warga kota Bandar Lampung untuk turut dalam pilwalkot. Sebab tidak semua pedagang di sana bertempat tinggal di Bandar Lampung. Sedangkan Pesawaran dan Lampung Selatan sangat dekat dengan ibu kota Provinsi Lampung.

“Jika alasannya karena pemilih, waduh orang yang berjulan di sana banyak yang dari Pesawaran dan Lamsel, itu dekat dari Bandar Lampung,” ungkap Ferdy.

Para pengendara yang selalu terjebak kemacetan dan bau tak sedap pasar itu juga mempunyai hak pilih. Setiap hari, mereka mencari rezeki melalui jalan Imam Bonjol. Bukan tak mungkin, mereka kena marah bos lantaran telat ke kantor sebab terjebak di lingkaran kumuh (bicara apa adanya) itu.

BACA JUGA :   Dua Penyair Membanggakan Lampung

“Nah mereka itu (pengendara) kan pemilih potensi juga untuk mendapatkan banyak suara. Tapi kalau keadaannya begini terus, bagaimana menarik minat mereka?” jelas Ferdy.

Barangkali pemimpin-pemimpin kota ini mesti berkaca pada kesuksesan Tri Risma. Dia diangkat sebagai menteri. Terobosannya adalah menertibkan area prostitusi. Dia juga dikatakan berhasil menata kota Surabaya menjadi lebih modern. Dia tak hanya dipuji warga setempat, melainkan warga luar Jawa Timur juga.

Ketakberdayaan pemerintah mengelola pasar tradisional ini, bahkan ada yang menduga karena sindikat pengelola pasar. Penguasa takut untuk memusnahkan kerajaan sindikat ini.

Denger-denger sih, mereka menjual lapak sehingga PKL berani berjualan di badan jalan Imam Bonjol dan depan kios-kios. Harga lapak itu mencapai 20 juta rupiah.

“Tentu pedagang mau membayar puluhan juta. Keuntungan mereka lebih dari itu,” ungkap Ferdy Gunsan bersemangat karena bosan melihat situasi yang tak kunjung berubah.

Sungguh-sungguh, pemerintah telah melakukan pembangunan untuk mengubah area jual beli ini. Dulu, pasar gintung punya dua lantai. Lantai atas itu dihuni pedagang ikan asin, tapi sebagian kosong. Namun dibongkar dan hanya dijadikan satu lantai.

Obrolan dari warung kopi, para pedagang mengeluhkan kekosongan tempat berdagang di dalam pasar. Artinya mereka juga mau punya tempat di dalam. Tapi pembeli malas untuk masuk ke dalam apalagi meniti anak tangga menuju lantai atas.

Warga Bandar Lampung terbiasa membeli di luar dan tempat yang mudah dijangkau. Bahkan trend terbaru menunjukan keberanian pembeli yang melakukan transaksi tanpa memarkir kendaraannya.

Tak mobil tak motor, mereka membeli langsung dari kendaraan. Yang mobil, tentu melakukan transaksi melalui jendela.

Kurang lebih anggaran 60 miliar digelontorkan Walikota Herman HN untuk mengambil alih pembangunan pasar yang sempat dipercayakan oleh pengembang, namun pengembang itu tertangkap padahal pedagang telah menyetorkan uang muka.

BACA JUGA :   Kapolda Lampung: Jangan Ragu, Ada Anggota Polri Langgar Lalu Lintas, Tilang!

Hasilnya bangunan baru (Pasar SMEP) yang dibangun menggunakan APBD tersebut pun terbangun tapi hanya sia-sia. Para pedagang yang telah ditertibkan mengeluhkan sepinya pembeli. Ini terjadi di era Walikota Eva Dwiana.

“Ya sepi kan karena pembeli belum terbiasa. Ini hanya masalah waktu. Tapi kalau pemerintah sudah membiarkan satu, dua PKL kembali berdagang di jalan raya karena alasan sepi padahal baru hitungan minggu, ya PKL yang lain ikutan kembali ke jalanan,” kata Ferdy.

Mubazir, uang puluhan miliar kenapa tidak untuk dibagikan ke fakir miskin? Lantas bagaimana fungsi kontrol anggota dewan, bukankah pembangunan “hampa” itu dibangun menggunakan uang rakyat? Hening

(PL 03)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *