SEMARANG, PL– Setelah sekian lama Paguyuban Puji Langgeng (Pandhemen Ki Narto Sabdo) vakum tak menggelar agenda pergelaran wayang Senin Pahingan karena terkendala pandemi Covid – 19 kembali menaja pergelaran wayang kulit. Pergelaran wacucal yang mengusung lakon : “Pandhu Swarga” ini dihelat untuk memperingati haul Sang Maestro Ki Narto Sabdo ke -37.
Sang maestro Ki Narto Sabdo selain kondang sebagai dalang legendaris, dan juga merupakan salah satu pendiri Wayang Orang “Ngesti Pandowo” wafat pada Senin 7 Oktober 1985, meninggal di usia 60 tahun. Seniman besar yang menjadi tokoh dan ikon budaya Semarang ini dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang. Sebelum helat pergelaran ditaja, siangnya para anggota Puji Langgeng berziarah ke makam Sang Maestro.
Ki Soeradji yang merupakan salah satu pengrawit Condong Raos mengatakan, setiap haul beliau anggota Puji Lan berzggeng dan juga para dalang berziarah ke makam Sang Maestro. Pada kesempatan ziarah ini Nampak para penggiat budaya dan dalang antara lain; Ki Soeradji Hadi Kusumo, Ki Damiri, Ki Supriyanto Hadi Praytno,Ki Widodo, Ki Samijan, Ki Sindhunata dan para anggota Sangkatama UKM – UPGRIS Semarang.
Pergelaran yang menghadirkan kolaborasi dalang Ki Jagad Bilowo, KRT Supriyono Jayeng Nagoro dan Ki Supriyanto Hadi Prayitno ini dilaksanakan di Lapangan Volly, Kelurahan Karangrejo, Gajah Mungkur, Semarang, Jumat, (21/10/2022).
Ketua perhelatan Haul Ki Narto Sabdo, Damiri, dalam sambutannya mengatakan, pergelaran wayang kulit ini didedikasikan untuk Sang Maestro. Pegelaran wacucal yang dihelat Puji Langgeng mala mini merupakan caos bekti luhur pada Sang Maestro. Ki Narto Sabdo telah memberi teladan dan memberikan kepada kita semua warisan budaya yang tak ternilai melalui karya-karyanya.
“Pergelaran wayang pada malam hari ini juga merupakan bukti kita sebagai pandhemen Ki Narto Sabdo untuk menumbuhkembangkan dan mengenalkan karya-karyanya kepada generasi muda,” ujar Damiri.
Lurah Karangrejo, Sudarsono, menyambut baik dan mengapresiasi Paguyuban Puji Langgeng yang telah menginisiasi dan memfasilitasi pergelaran wayang kulit di Kelurahan Karangrejo. “Pada malam saya sangat senang karena warga Karangrejo bisa nonton wayang. Kami mewakili warga sangat berterima kasih kepada bapak ST Sukirno selaku Ketua Puji Langgeng yang memfasilitasi pergelaran wayang malam ini. Mudah-mudahan ke depan kegiatan ini bisa kembali digelar di sini,” ujar Sudarsono.
Ketua Puji Langgeng Pandhemen Ki Narto Sabdo ST Sukirno mengatakan, pergelaran wayang ini merupakan sebagai wujud bukti para pandhemen Ki Narto Sabdo untuk tetap menumbuhkembangkan warisan berupa karya-karya Sang Maestro agar tetap ngremboko dan lestari.
“Kita melalui Paguyuban Puji Langgeng yang berdiri sejak Juli 2012 berkomitmen untuk terus agar karya-karya adiluhung beliau tetap dikenal dan dihargai sebagai warisan budaya harus diuri-uri,” ujar ST Sukirno yang juga anggota DPRD Jawa Tengah ini.
Pada kesempatan itu, ST Sukirno, juga mengingatkan, betapa penting dan berharganya beliau, ketika wafatnya ada dua daerah yang memperebutkan tempat untuk pemakaman Sang Masetro. “Waktu beliau wafat diperebutkan antara Klaten tempat kelahirannya dan Kota Semarang tempatnya berkiprah. Tetapi Gubernur Jawa Tengah pak Ismail akhirnya menetapkan beliau dimakamkan di Kota Semarang. Pertimbangannya karena Ki Narto Sabdo merupakan budayawan milik Provinsi Jawa Tengah,” ujar Sukirno menukil sejarahnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Arief Tri Laksono, mewakili Walikota dalam sabutannya, mengapresiasi kegiatab yang dilakukan Paguyuban Puji Langgeng menggelar pergelaran wayang untuk memperingati haul Ki Narto Sabdo yang merupakan salah satu budayawan kebanggan Kota Semarang.
“Harapannya masyarakat Karangrejo dan sekitarnya pada malam hari ini bisa menikmati hiburan. Kini wayang kulit menjadi salah satu ikon budaya Indonesia yang sudah mendunia dan diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia,” ujar Arief.
Arief Tri Laksono pada saat membuka pergelaran yang ditandai dengan menyerahkan tokoh wayang dan gunungan kepada para dalang berpesan agar menyuguhkan pertunjukan wayang yang menghibur sebagai tontonan, tuntunan dan juga tatanan. “Wayang harus bisa menghibur, mengedukasi dan menjadi pedoman,” tandas Arief.
Lakon Pandhu Swarga
Secara terpisah penata naskah dan iringan Ki Soeradji Hadi Kusumo Prodjodipuro membabarkan lakon : “Pandhu Swarga” ini mengisahkan, keprihinan kerajaan Amarta sepeninggal Prabu Pandhu dan Madrim karena tertahan di kawah candra dimuka.
Maka pandawa werkudoro dan adik-adiknya menjalani tirakat dan berpuasa agar Sang bapa Pandhu dan Ibu Madrim segera masuk surga. Kemudian Batara Narada sebagai utusan Batara Guru untuk menjemput para pandawa untuk menghadap ke kayangan. Werkudoro menyanggupi tetapi tanpa Punta Dewa dan Nakula. Punta Dewa pun murka berubah jadi raksana dan berangkat ke khayangan.
Tetapi sesampai di Khayangan olrh Batara Guru Werkudoro dianggap salah oleh Dewa, karena telah memberikan ilmu “Kasampurnaning dumadi” saat menjadi Bimo Suci. Maka sebagai hkuman Werkudoro dan adik-adiknya di masukkan ke Kawah Candra Dimuka. Werdukoro siap tanpa dipernita dia memang ingin masuk kawah Candra Dimuka untuk menemuni Pandhu.
Sementara itu, di kediaman Kunthi Tali Brata menerima kedatangan Kresna yang intinya menanyakan ihwal Pandawa tidak ada. Tetapi Kunthi justru menyalahkan Kresna sebagai pamong Pandawa tetapi tidak tahu keberadaannya. Kresna pun murka berubah jadi raksasa dan terbang menuju Kayangan.
Kemudian di kayangan gegeran ada dua raksasa mengamuk. Batara guru minta saran Narada untuk mencari duta yang kemudian minta tolong kepada Werkudoro yang ada di Kawah Candra Dimuka.
Akhirnya Betara Guru menrmui Werkudoro yang ternyata sudah berhasil menemui Pandu dan Madrim. Betara Guru minta kepada Pandu agar Werkudoro mau menyingkirkan dua raksasa musuh kayangan.
Pandhu mau menolong para Dewa dengan mengajukan syarat agar Sang Bapak Pandhu dan Madrim dinaikkan ke Swarga Tunda Sanga. Kemudian dua raksasa bertemu Werkudoro, ketika akan dihajar, tapi dihalangi oleh Narada. Pasalnya, kedua raksasa itu sebetulnya saudara, yang kemudian kembali berubah jadi Punta Dewa dan Krisna yang sudah behasil menaikkan Pandhu dan Madrim ke Swarga Tunda Sanga.
Pegelaran yang menghadirkan rampak tiga dalang yaitu; Ki Jagad Bilowo, KRT Supriyono Jayeng Nagoro dan Ki Supriyanto Hadi Prayitno berhasil menyajikan suguhan tontonan yang menarik dan menghibur. Buktinya, banyak penonton yang bertahan hingga pergelaran usai tancep kayon