PANTAU LAMPUNG- Mediasi konflik agraria antara masyarakat tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah, yaitu Kampung Bumi Aji, Negara Aji Baru, dan Negara Aji Tua, dengan PT Bumi Sentosa Abadi (PT BSA) menghasilkan sejumlah kesepakatan penting. Pemerintah daerah berkomitmen membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria yang melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan korban konflik agraria. DPRD Kabupaten Lampung Tengah menyatakan akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk merumuskan rekomendasi penyelesaian konflik secara konkret.
Selain itu, salah satu keputusan mediasi menyatakan bahwa seluruh aktivitas di lahan sengketa harus dihentikan sementara. PT Bumi Sentosa Abadi diberikan tenggat waktu hingga 31 Oktober 2025 untuk melakukan panen terakhir. Namun, fakta mencolok dan memprihatinkan muncul: PT Bumi Sentosa Abadi tidak menghadiri forum mediasi sama sekali. Ketidakhadiran perusahaan ini menunjukkan pembangkangan nyata terhadap pemerintah dan penghinaan terhadap masyarakat yang terdampak.
Menurut YLBHI–LBH Bandar Lampung, meskipun hasil mediasi memberi sedikit harapan, ketidakhadiran PT BSA menegaskan bahwa keberpihakan negara dalam konflik agraria masih rapuh. Komitmen pemerintah membentuk Tim Gugus Tugas dan DPRD membentuk Pansus adalah langkah awal yang patut diapresiasi, tetapi pengalaman panjang konflik agraria di Indonesia menunjukkan bahwa komitmen semacam itu sering kali tidak diikuti tindakan nyata untuk melawan kepentingan modal. Tanpa sikap tegas, mediasi ini hanya akan menjadi catatan formal tanpa perubahan signifikan.
Ketidakhadiran PT Bumi Sentosa Abadi juga mencerminkan watak korporasi yang merasa kebal hukum dan menempatkan dirinya di atas mekanisme demokrasi. Perusahaan ini mengabaikan negara, rakyat, dan hukum, menunjukkan wajah oligarki yang arogan. Jika perilaku seperti ini dibiarkan, negara sendiri yang terlihat lemah di hadapan kekuatan modal, dan hak-hak masyarakat yang sudah lama dirampas tetap tidak mendapat keadilan.
Batas akhir penghentian aktivitas hingga 31 Oktober 2025 menjadi penanda penting. Jika PT BSA melanjutkan aktivitas setelah tenggat tersebut, hal ini akan dikategorikan sebagai perampasan tanah secara terang-terangan. Negara wajib menindak tegas, termasuk opsi pencabutan izin usaha dan penegakan hukum secara tegas. Keputusan ini bukan hanya soal kepatuhan administrasi, tetapi tentang hak konstitusional masyarakat atas tanah yang merupakan sumber mata pencaharian, identitas, dan masa depan mereka.
Konflik di Anak Tuha bukan kasus tunggal. Kasus ini mencerminkan luka agraria di seluruh Indonesia, di mana masyarakat lokal selalu menjadi pihak yang dirugikan. Perusahaan besar sering menundukkan negara melalui kekuatan modal, sementara rakyat hidup dalam ketidakpastian, diintimidasi, dan kehilangan hak atas tanah mereka. Mediasi seharusnya menjadi momentum untuk memutus rantai ketidakadilan, bukan hanya formalitas untuk meredam gejolak.
YLBHI–LBH Bandar Lampung menekankan bahwa keberhasilan mediasi akan menjadi ujian bagi negara. Apakah pemerintah dan DPRD benar-benar berdiri bersama rakyat atau kembali tunduk pada perusahaan yang arogan? Apakah Pansus DPRD akan bekerja sungguh-sungguh atau hanya menjadi panggung politik tanpa hasil? Apakah Tim Gugus Tugas Reforma Agraria akan mewujudkan keadilan atau sekadar menjadi proyek administratif? Semua pertanyaan ini menuntut jawaban konkret dan tindakan nyata.
Jika hasil mediasi kembali diabaikan, bukan hanya kekecewaan yang akan muncul, tetapi potensi konflik baru yang lebih keras dan berdampak luas akan meningkat. Rakyat Anak Tuha sudah terlalu lama menunggu keadilan, dan kesabaran mereka tidak boleh terus diuji dengan kebijakan setengah hati.
YLBHI–LBH Bandar Lampung bersama masyarakat sipil akan terus mengawal proses ini, memastikan keadilan agraria tidak berhenti pada wacana, tetapi benar-benar terwujud di lapangan. Tanah bukan sekadar komoditas, melainkan ruang hidup, identitas, dan masa depan rakyat. Negara yang membiarkan tanah dirampas adalah negara yang mengkhianati rakyatnya sendiri, dan terhadap pengkhianatan itu, masyarakat sipil menuntut tindakan tegas tanpa kompromi.***