PANTAU LAMPUNG– R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, mengajak kita untuk merenung lebih dalam tentang hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dalam dunia yang sibuk dengan rutinitas, banyak di antara kita yang menunda perjalanan spiritual, seolah menunggu kematian sebagai pintu untuk bertemu Allah. Padahal, al-Qur’an telah memberi peringatan yang sangat jelas: siapa yang buta di dunia, akan buta pula di akhirat. Artinya, bukan mati yang mempertemukan kita dengan Allah, tetapi kesadaran hati sejak masih hidup.
Buta yang Dimaksud, Bukan Soal Mata. Dalam surat Al-Isra ayat 72, Allah berfirman:
“Dan barang siapa di dunia ini buta (hatinya), maka di akhirat nanti dia akan buta pula dan lebih sesat jalannya.”
Ayat ini seharusnya menggugah. Bukan sekadar soal melihat secara fisik, tetapi tentang penglihatan qalbu, atau yang sering disebut sebagai basyirah. Buta yang dimaksud bukan mata yang tak berfungsi, tetapi hati yang tertutup, jiwa yang tidak menyaksikan kebenaran, dan ruh yang tidak pernah diberi ruang untuk bicara.
Hari ini, banyak manusia yang hidup dalam rutinitas duniawi tanpa pernah bertanya: “Siapa aku sebenarnya?”
Kita sibuk mencari pengakuan, harta, jabatan, tanpa pernah menyelam ke kedalaman diri. Padahal, al-Qur’an menyebutkan bahwa yang ditiup ke dalam diri manusia bukanlah “ruhmu”, tetapi “ruh-Ku” ruh milik Allah yang ditiupkan kepadamu. Ini bukan bahasa simbolik, tapi pernyataan tegas bahwa dalam diri manusia ada percikan Ilahi yang harus disadari dan disucikan.
Jangan sampai hidup kita hanya sibuk memelihara jasad, sementara ruh dibiarkan kelaparan.
Kenali Ruhmu, Maka Kau Akan Mengenal Tuhanmu
Sebagian besar orang menunda pencarian jati diri hingga ajal menjemput. Mereka menyangka bahwa hanya setelah mati, baru mereka akan bertemu Allah. Padahal, para kekasih Allah sejak hidupnya sudah menyaksikan kehadiran-Nya, bukan dengan mata kepala, tapi dengan mata hati.
Mengenali jati diri bukanlah ajakan mistik yang menjauhkan kita dari dunia. Justru inilah fondasi tauhid yang sejati. Sebab jati diri kita bukanlah gelar, pekerjaan, atau status sosial. Jati diri kita adalah ruh yang berasal dari-Nya. Jika kita tidak pernah menyaksikan ruh itu, bagaimana mungkin kita bisa mengenali siapa yang meniupkannya?
Hidup ini adalah kesempatan untuk menyaksikan cahaya itu. Bukan nanti, bukan setelah mati. Tapi di sini dan sekarang, saat hati masih bisa digerakkan, dan ruh masih bisa disentuh oleh kebenaran.
Mati yang sejati bukanlah ketika nafas berhenti, tetapi ketika hati tak pernah hidup untuk mengenal Tuhannya. Maka jangan tunggu mati untuk berjumpa dengan Allah. Mulailah hidup, secara hakiki.
“Siapa yang tidak melihat dirinya sendiri di dunia ini, tidak akan pernah bisa melihat siapa Tuhannya di akhirat nanti.”
Jangan biarkan hidup ini habis hanya untuk dunia yang fana. Bersihkan hati, bukalah mata ruhani, dan selamilah dirimu yang terdalam. Karena ketika engkau menyaksikan ruhmu, saat itulah engkau menyaksikan bahwa Tuhan selalu ada, lebih dekat dari urat lehermu sendiri.***