PANTAU LAMPUNG— Pengibaran bendera bajak laut One Piece dalam perayaan Hari Kemerdekaan RI menuai sorotan tajam. Bagi aktivis kebangsaan R. Haidar Alwi, fenomena ini bukan sekadar tren atau hiburan semata, melainkan sebuah alarm budaya yang menunjukkan mulai tergesernya nilai-nilai simbolik nasional oleh ikon fiksi asing.
“Ini bukan soal suka atau tidak suka anime. Ini soal ke mana arah kolektif bangsa dibentuk. Jika Merah Putih diganti simbol bajak laut, maka kita tidak sedang baik-baik saja,” kata Haidar, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute.
Simbol Adalah Cermin Peradaban, Bukan Gaya Kosong
Haidar menegaskan bahwa setiap simbol—bendera, lambang, dan ikon—memiliki nilai mendalam sebagai pembentuk identitas. Ketika simbol asing tampil dalam ruang publik yang sakral seperti perayaan kemerdekaan, itu menjadi pertanda bahwa generasi muda mengalami kebingungan makna.
“Simbol itu bukan hal netral. Ia adalah bahasa nilai. Dan hari ini, kita terlalu permisif terhadap masuknya simbol-simbol asing yang tak mewakili jiwa bangsa,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa pertarungan ideologi di era digital tidak lagi lewat perang terbuka, tapi melalui budaya populer, tontonan, dan ikon visual yang dianggap remeh.
Langkah Dasco Dinilai Tepat Waktu
Sikap tegas Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam merespons fenomena ini mendapat apresiasi dari Haidar. Ia menilai keberanian Dasco sebagai bentuk early warning system yang patut diteladani pemimpin lainnya.
“Pak Dasco bukan mencari sensasi, tapi menyalakan alarm budaya di tengah kebisingan budaya global. Butuh keberanian moral untuk melihat ancaman dalam bentuk yang samar,” katanya.
Menurut Haidar, terlalu banyak elite politik yang fokus pada isu viral tapi abai terhadap erosi nilai-nilai dasar bangsa yang terjadi secara perlahan.
Bangun Imajinasi Nasional, Bukan Sekadar Melarang
Meski mendukung langkah tegas menjaga simbol nasional, Haidar juga mendorong solusi kreatif: membangun konten lokal yang kuat dan menciptakan karakter fiksi yang membanggakan.
“Kita tak bisa hanya jadi pasar simbol asing. Kita harus mulai produksi simbol kita sendiri. Kalau Jepang punya Luffy, Indonesia juga bisa punya ikon yang dicintai dunia.”
Ia menekankan pentingnya negara hadir lewat edukasi budaya yang cerdas, bukan hanya larangan.
“Generasi muda tak salah mencintai anime. Tapi negara akan salah kalau tak memberi alternatif yang membanggakan,” tegas Haidar.
Simbol Tak Boleh Dianggap Remeh
Di akhir pernyataannya, Haidar Alwi mengajak semua pihak menjadikan peringatan Dasco sebagai titik balik kesadaran kolektif.
“Menjaga Merah Putih bukan sekadar kewajiban hukum, tapi kesadaran jati diri bangsa. Kita butuh pemimpin yang tahu ke mana arah bangsa ini dibawa, bukan yang hanya ikut arus,” pungkasnya.
Fenomena ini memperlihatkan betapa pentingnya pendidikan simbolik dalam membentuk karakter bangsa. Dalam dunia yang bergerak cepat, pertahanan budaya bukan hanya soal menjaga batas wilayah—tetapi menjaga batas imajinasi.***