PANTAU LAMPUNG– Kunjungan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, ke Provinsi Lampung pada Juli 2025 kembali menyorot tajam ketimpangan agraria yang belum terselesaikan, terutama konflik lahan di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah.
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, dalam pernyataan resminya menyatakan bahwa kedatangan Menteri Nusron hanya menambah panjang daftar kunjungan simbolik tanpa solusi konkret. Ia menilai, negara telah gagal dalam menjalankan amanah penyelesaian konflik agraria yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Konflik antara masyarakat dari tiga kampung—Bumi Aji, Negara Aji Tua, dan Negara Aji Baru—dengan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA), menjadi salah satu potret paling telanjang dari krisis pengelolaan tanah di Lampung. Tanah yang sejak lama digarap warga secara turun-temurun telah dialihkelola oleh perusahaan sejak 1972 dan secara sepihak diberikan Hak Guna Usaha (HGU) oleh negara.
Kritik paling tajam ditujukan pada minimnya keberanian negara untuk mencabut HGU yang dinilai cacat hukum dan tidak pernah melalui proses partisipatif bersama masyarakat. “Tak pernah ada dialog bermakna. Negara seakan menutup mata terhadap hak penggarap yang sah secara sosial dan historis,” tegas Sumaindra.
Kekerasan terhadap masyarakat memuncak pada September 2023 ketika aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP dikerahkan untuk menggusur lahan sengketa. Tak kurang dari 1.500 personel diturunkan, tujuh warga ditangkap, dan intimidasi dilakukan secara sistematis.
Kondisi ini dinilai mencerminkan keberpihakan negara kepada korporasi, bukan kepada rakyat. “Ini bukan lagi konflik tanah, ini konflik kekuasaan yang memperlihatkan bagaimana negara tunduk pada oligarki,” ujar Sumaindra.
Sejak April 2025, ratusan warga dari tiga kampung menggelar aksi damai di Kantor Bupati dan DPRD Lampung Tengah. Mereka menuntut pembentukan panitia khusus (pansus), pencabutan HGU PT BSA, pembebasan petani yang ditahan, dan penarikan aparat dari lokasi konflik.
Namun, hingga kini pemerintah pusat maupun daerah belum menunjukkan langkah konkret. “Reforma agraria tak cukup dengan pidato. Diperlukan keberanian struktural untuk berpihak pada keadilan sosial,” imbuhnya.
LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa konflik di Anak Tuha bukan hanya soal sengketa kepemilikan, tapi soal keadilan substantif. Mediasi yang partisipatif, audit independen terhadap HGU, dan pencabutan izin yang melanggar hukum menjadi syarat mutlak.
Jika konflik ini terus diabaikan, maka kehadiran Menteri ATR/BPN ke Lampung tak ubahnya hanya menjadi panggung simbolik—jauh dari harapan rakyat untuk keadilan dan kedaulatan atas tanah mereka sendiri.***