PANTAU LAMPUNG – Wembley Stadium gegap gempita. Kali ini bukan karena final Liga Champions atau laga timnas Inggris, melainkan karena sebuah pesta tak terduga: Persib Bandung, klub kebanggaan Indonesia, menjejak rumput stadion legendaris dalam ajang Piala Dunia Antarklub 2025.
Piala Dunia Antarklub sering disebut sebelah mata oleh sebagian pundit sepakbola—khususnya di Indonesia—yang menganggapnya sebagai ajang “buang-buang energi” dan hanya menyiksa pemain. Tapi anggapan itu mulai runtuh. Turnamen ini justru menghadirkan narasi baru: kesetaraan sepakbola global.
Buktinya? Beberapa klub raksasa Eropa tercatat tumbang oleh tim-tim Asia dan Amerika Latin. Ketimpangan bukan lagi soal skill, tapi soal kesempatan.
Namun demikian, FIFA masih punya pekerjaan rumah besar. Sistem kuota peserta masih timpang: klub-klub Eropa mendapat jatah lebih banyak dibanding Asia atau Afrika. Ini tak sejalan dengan semangat kompetisi global yang inklusif.
“Jika ingin turnamen ini benar-benar bergengsi, FIFA harus berani menyamaratakan jatah kontestan. Jangan Eropa melulu yang dominan,” ujar seorang analis sepakbola Asia.
Bukan hanya soal kuota. Pemilihan tuan rumah juga harus dievaluasi. Amerika Serikat, yang jadi tuan rumah edisi kali ini, menuai kritik karena kondisi cuaca ekstrem yang berisiko bagi pemain.
Tak kalah penting, jadwal penyelenggaraan turnamen juga perlu diatur ulang. Ajang ini sebaiknya digelar setiap empat tahun sekali, bukan setiap musim, agar tetap prestisius dan tidak membebani fisik pemain yang sudah dijejali jadwal padat.
Bagi Indonesia, ajang ini semestinya jadi peluang besar. Bayangkan bila PSSI bisa memanfaatkan momen ini untuk mempersiapkan klub-klub lokal secara profesional dan terstruktur. Ada mimpi besar di sana: melihat bendera Merah Putih berkibar di ajang sepakbola dunia.
Nama Simon Tahamata, legenda berdarah Indonesia yang pernah bersinar di Eropa, bisa jadi pengingat: talenta Indonesia bisa bersaing, hanya saja perlu panggung dan dukungan yang kuat. Jangan sampai mimpi-mimpi itu kembali dibungkam oleh urusan politik atau buruknya manajemen.
Kini, saat Persib Bandung melangkah gagah di Wembley, mungkin ini bukan sekadar pertandingan—ini pertanda bahwa klub-klub Asia sedang bangkit. Dan Indonesia, bisa jadi bagian dari sejarah itu.***