PANTAU LAMPUNG– Satu bait puisi bisa jadi suara dari bangsa. Dan itulah yang dibuktikan oleh Isbedy Stiawan ZS, penyair asal Lampung yang kembali membanggakan Indonesia di pentas sastra dunia. Melalui puisi esainya yang berjudul “Wadas, Apakah Kita Masih Satu Tanah Air?”, Isbedy berhasil meraih Juara II dalam ajang Sayembara Puisi Esai Antarabangsa ke-4 yang diselenggarakan di Sabah, Malaysia.
Pengumuman resmi disampaikan oleh Dato’ Jasni Matlani, Presiden Komunitas Puisi Esai ASEAN, pada Kamis (26/6/2025). Jasni juga menyampaikan bahwa penyerahan hadiah akan dilakukan pada Jumat (27/6/2025) di Hotel Horizon Kota Kinabalu oleh Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi Sabah, YB Datuk Haji Dr Mohd Arifin Datuk Haji Mohd Arif.
“Setinggi-tinggi tahniah kepada semua pemenang. Yang belum berhasil, jangan patah semangat, cuba lagi pada masa akan datang,” ujar Jasni dalam siaran resminya.
Di tengah malam yang tenang, Isbedy menyampaikan rasa syukurnya. “Alhamdulillah, saya baru tahu bakda Magrib tadi dari Fatin Hamama di Sabah. Menjadi juara dua adalah kehormatan besar, apalagi mewakili Indonesia dalam sayembara ini,” ucapnya.
Puisi Isbedy bukan sekadar karya sastra. Ia adalah suara kegelisahan, refleksi kebangsaan, dan doa dari sebuah negeri yang terus mencari keadilan. Judul puisinya pun jelas menggugah: Wadas, Apakah Kita Masih Satu Tanah Air?
Isbedy menjadi satu-satunya penyair Indonesia yang masuk tiga besar. Di posisi pertama, puisi “Antara Wajah dan Wibawa” karya Beatres Petrus dari Sandakan, Sabah. Sementara posisi ketiga diraih oleh Jaya Ramba dari Miri, Sarawak, dengan puisi “Datin Seri yang Hilang di Tengah-Tengah Kota Raya.”
Selain tiga besar, penghargaan sagu hati diberikan kepada sejumlah penyair dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Dari Indonesia tercatat nama D. Kemalawati (Aceh), Ririe Aiko (Bandung), Hamri Manoppo (Sulawesi Utara), dan Jodhi Yudono (Jakarta).
Total hadiah uang tunai yang diberikan panitia adalah:
- Juara 1: RM 2.750
- Juara 2: RM 2.250
- Juara 3: RM 1.500
- Sagu hati: RM 500 per pemenang
Kemenangan ini bukan yang pertama bagi Isbedy, namun tetap menjadi bukti bahwa puisi masih relevan sebagai alat perjuangan, pengingat, dan penyambung lidah bangsa. Dari Wadas hingga Sabah, satu suara lantang masih menggema: kita satu tanah air, selama kata-kata masih hidup.***