PANTAU LAMPUNG– Nasib malang menimpa Maimanan Awalia Rahmawati, seorang guru honorer di SMPN 1 Katibung, yang dilaporkan ke polisi terkait dugaan penganiayaan saat berusaha mendidik dan menegakkan disiplin siswa.
Peristiwa ini terjadi pada Kamis, 17 Oktober 2024, sekitar pukul 10 pagi. Sebelumnya, orang tua seorang murid mengirimkan voice note kepada Maimanan untuk mengecek keberadaan anaknya, R, yang sudah lama tidak masuk sekolah. Sebagai wali kelas 8 G, Maimanan langsung memeriksa kelas dan menemukan bahwa R tidak ada di tempat. Informasi dari pihak sekolah menyebutkan bahwa R sudah beberapa bulan tidak hadir.
Ketika jam istirahat, beberapa siswa memberitahu Maimanan bahwa mereka melihat R berada di kamar mandi. Maimanan pun bergegas mendekat, namun saat itu R berusaha menghindar. Dalam upayanya untuk menahan R agar tidak melarikan diri, Maimanan menarik bajunya, yang justru menjadi awal dari masalah ini.
Akibat insiden tersebut, keluarga R melaporkan Maimanan ke polisi dengan tuduhan penganiayaan. “Saya tidak pernah melakukan penganiayaan, apalagi mencubit atau menjambak. Saya hanya menarik bajunya agar tidak lari karena ada hal penting yang harus disampaikan,” ujar Maimanan, yang telah mengabdi sebagai tenaga honorer selama tujuh tahun dengan gaji sekitar Rp 800 ribu.
Maimanan menjelaskan, tujuannya adalah untuk mengejar ketinggalan pelajaran R, baik dalam bidang studi yang diajarkannya maupun pelajaran lainnya. “Saya tidak menyangka akan terjadi seperti ini,” tambahnya, sambil mengungkapkan perjuangannya untuk mencapai sekolah yang berjarak 1,5 jam dengan sepeda motor setiap hari.
Setelah kejadian, pihak kepolisian meminta pihak sekolah untuk hadir di polsek. Namun, keluarga R sudah pulang, dan Maimanan menyusul untuk meluruskan kejadian tersebut, tetapi tidak mendapat tanggapan.
Kepala SMPN 1 Katibung, Asnawi Mangkusastra, mengonfirmasi insiden tersebut dan menyatakan telah mengklarifikasi kepada guru, keluarga, dan siswa yang terlibat. “Saya ingin menyelesaikan masalah ini di sekolah, tapi karena sudah dilaporkan ke polisi, kita tidak bisa berbuat banyak,” ungkap Asnawi, yang juga seorang mantan aktivis mahasiswa.
Asnawi menegaskan pentingnya melihat insiden ini dari perspektif kedua belah pihak. “Jika peristiwa itu benar, saya akan memberikan sanksi sesuai aturan pendidikan, tetapi bukan hukuman. Sekolah bukan lembaga hukum,” tegasnya. Ia berkomitmen untuk menjembatani kedua pihak dan berharap ada solusi win-win. “Saya berada di tengah antara R sebagai murid kami dan Ibu Maimanan sebagai tenaga pendidik kami,” tutup Asnawi, yang juga aktif di Dewan Kesenian Lampung Selatan.
Dengan situasi ini, harapan besar untuk menemukan titik terang dan menjaga hubungan baik di lingkungan pendidikan di SMPN 1 Katibung tetap menjadi prioritas utama.***