PANTAU LAMPUNG – Kota Gede, sebuah sentuhan budaya yang meresap dalam jiwanya, tak pernah berhenti menjadi pusat minat bagi masyarakat Jawa modern. Kota ini bukan sekadar nama di peta, melainkan tempat yang menghidupkan kembali gemerlap sejarah Kerajaan Mataram Jawa, yang dahulu mempersembahkan catatan kebesaran yang tak tertandingi.
Di antara bangunan-bangunan bersejarah Kota Gede, terdapat sebuah titik fokus yang memancarkan aura megah dan suci: makam para raja terkemuka yang pernah memimpin Kerajaan Mataram, menorehkan jejak kejayaan bagi Kota Yogyakarta seperti yang kita kenal saat ini. Makam-makam ini sudah menyaksikan berbagai peristiwa sejak tahun 1500 Masehi.
Kota Gede adalah tempat di mana kita dapat menemukan makam Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pemanahan, Danang Sutawijaya yang kemudian dikenal sebagai Raja Panembahan Senopati, serta makam Sultan Hamengku Buwono II. Raja Pajang Sultan Hadiwijaya merupakan penerus dari garis keturunan Kesultanan Demak.
Dalam kompleks pemakaman Kota Gede, terdapat total 627 makam, di antaranya 81 merupakan makam utama para raja.
Sejarah makam raja di Kota Gede bermula ketika Sultan Hadiwijaya memberikan Alas Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya membunuh Aryo Penangsang, musuh bebuyutan Kerajaan Pajang. Alas Mentaok ini kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan yang besar dan terkenal dengan nama Kerajaan Mataram.
Ki Ageng Pemanahan memiliki seorang anak bernama Danang Sutawijaya, yang kemudian menjadi Raja Mataram I dengan gelar Panembahan Senopati. Ia adalah tokoh kunci di balik kejayaan Kerajaan Mataram, jauh sebelum terbagi menjadi dua entitas, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Ketika Sultan Hadiwijaya wafat, Panembahan Senopati merasa sangat berduka. Ia menganggap Sultan Hadiwijaya sebagai orang tua angkatnya sendiri dan menunjukkan penghormatan yang mendalam kepadanya. Ketika Sultan Hadiwijaya meninggal dan dimakamkan di Dusun Butuh, Purwodadi, jasadnya kemudian dipindahkan ke Makam Kota Gede agar dimakamkan bersama dengan ayah kandungnya, Ki Ageng Pemanahan.
Pencurian jasad Sultan Hadiwijaya terjadi dengan cara yang unik. Para pencuri tidak merusak makam Sultan Hadiwijaya di Purwodadi, melainkan mengambil jasadnya dari samping tanah makam.
Hingga kini, Makam Kota Gede tetap dijaga dengan ketat oleh keturunan dari dua kerajaan, yaitu Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, yang berusaha menjaga warisan nenek moyang mereka.
Kompleks makam para raja di Kota Gede dahulu merupakan pusat pemerintahan besar Kerajaan Mataram. Di samping makam, terdapat juga Masjid Kotagede, masjid tertua di Kota Yogyakarta. Bangunan-bangunan rumah joglo yang khas masyarakat Jawa Mataram juga masih terjaga dengan baik.
Di sebelah barat kompleks makam, terdapat reruntuhan benteng yang tebalnya mencapai 1 meter serta parit-parit pertahanan yang mengelilingi benteng.
Di dalam kompleks ini, terdapat tempat pemandian yang dibagi menjadi dua, untuk pria dan wanita. Air pemandian pria berasal dari kompleks makam para raja, sementara air pemandian wanita konon berasal dari pohon beringin di depan gerbang makam.
Di kolam pemandian ini, terdapat ikan lele yang dianggap keramat oleh warga sekitar. Pohon beringin di pintu gerbang makam, yang ditanam oleh Sunan Kalijaga 500 tahun yang lalu, menaungi kompleks makam para raja Kota Gede yang berusia ribuan tahun.
Wilayah ini pernah menjadi tempat di mana Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa. Tiga pintu gapura menuju kompleks makam Kota Gedhe dijaga oleh para abdi dalem kerajaan.
Untuk menghormati tradisi dan nilai-nilai sejarah, pengunjung kompleks diminta mengenakan busana adat Jawa. Wanita diwajibkan menggunakan kain jarik hingga dada atau kemben, sedangkan pria wajib menggunakan kain jarik dengan baju peranakan.
Ketika berada di dalam kompleks makam, pengunjung dihimbau untuk menghormati kekhususan tempat tersebut dengan tidak memotret atau berfoto-foto di sekitar makam. Perhiasan juga tidak diperbolehkan untuk dipakai, mengikuti tradisi para peziarah.***