PANTAU LAMPUNG– Ketegangan meluas di Lampung Barat akibat serangkaian serangan harimau terhadap warga, mengakibatkan ketakutan dan kecemasan yang mendalam di tengah masyarakat setempat. Sejak serangan pertama yang menewaskan Gunarso pada tanggal 8 Februari 2024, kepanikan semakin meluas dengan kejadian serupa yang menimpa S, seorang petani yang ditemukan tewas saat tengah menggarap kebunnya pada tanggal 22 Februari 2024.
Dengan belum tertangkapnya harimau yang menjadi ancaman, warga hidup dalam ketegangan yang terus meningkat. Bahkan, teror harimau semakin meresahkan dengan melintasnya binatang buas itu di jalan raya yang padat, mempertambah ketakutan warga Lampung Barat.
Pemerintah setempat berusaha menghadapi situasi ini dengan berbagai langkah, termasuk surat himbauan dari pihak Kecamatan Bandar Negeri Suoh agar warga mengenakan topi terbalik sebagai tindakan antisipasi, serta imbauan agar tidak beraktivitas sendirian di kebun. Namun, upaya-upaya tersebut tidak cukup meredakan kecemasan yang melanda.
Sanaman, seorang warga yang menjadi korban serangan harimau, kembali menjadi sorotan ketika ia mengalami serangan meskipun berhasil menyelamatkan diri. Ketidakhadiran respons yang memadai dari pihak berwenang memuncak dalam aksi kemarahan warga, yang pada akhirnya mengakibatkan pembakaran kantor Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) Resort Suoh.
Tindakan anarkis ini menjadi ekspresi kekecewaan yang meluap dari masyarakat yang merasa ditinggalkan oleh pemerintah dalam menghadapi ancaman nyata dari harimau. Meski kejadian tersebut menimbulkan kekhawatiran akan kondisi keamanan, polisi telah turun tangan untuk menjaga situasi agar tidak semakin memanas.
Sementara itu, dalam upaya menangani konflik ini, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Ismanto, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai langkah, termasuk pemasangan jebakan dan kerjasama dengan Taman Safari Indonesia untuk menangkap harimau tersebut.
Namun, di balik kepanikan dan tindakan keras warga, sejumlah aktivis lingkungan dan pemerhati satwa menyoroti akar masalah sebenarnya: hilangnya sumber makanan harimau akibat aktivitas manusia seperti deforestasi, illegal logging, dan pembukaan lahan. Dalam konteks ini, penting untuk menjaga kelestarian hutan sebagai habitat alami harimau Sumatera untuk mengatasi konflik ini secara berkelanjutan.
Dengan demikian, konflik antara harimau dan manusia di Lampung Barat menjadi cerminan dari kompleksitas interaksi antara manusia dan lingkungannya, serta menyoroti pentingnya keseimbangan ekosistem untuk keberlangsungan hidup bersama. ***