PANTAU LAMPUNG— Panitia Puisi Peduli Bencana Sumatera 2025 mengumumkan 118 puisi yang lolos kurasi dan akan dimuat dalam buku Tanda Cinta bagi Korban Bencana Sumatera, Rabu (16/12/2025). Buku ini lahir dari keprihatinan mendalam terhadap banjir dan longsor besar yang melanda berbagai wilayah Sumatera pada akhir 2025, yang menewaskan ratusan orang dan memaksa hampir satu juta warga mengungsi dari rumah dan kampung halaman mereka.
Buku ini bukan sekadar antologi puisi bertema bencana, melainkan merupakan upaya kolektif untuk menghadirkan kesaksian moral dan etis. Mustafa Ismail, salah satu inisiator kegiatan sekaligus jurnalis dan penyair asal Aceh, menegaskan bahwa puisi-puisi ini menjadi ruang refleksi dan dokumentasi atas tragedi ekologis yang menimpa Sumatera. “Puisi-puisi di dalamnya bukan sekadar ungkapan empati, melainkan bentuk kesaksian kolektif atas bencana banjir dan longsor yang melanda berbagai wilayah Sumatera pada akhir 2025,” ujarnya.
Keragaman penyair yang terlibat menambah dimensi universal buku ini. Penyair datang dari berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, hingga Turki. Hal ini menunjukkan bahwa duka Sumatera tidak berdiri sendiri, tetapi mendapat resonansi dari komunitas sastra internasional yang peduli terhadap bencana ekologis dan kemanusiaan. Mustafa menambahkan bahwa buku ini menjadi ruang lintas batas yang mempertemukan duka lokal dengan keprihatinan global, membuktikan bahwa bencana tidak mengenal sekat politik atau geografis.
Secara tematik, buku ini menolak pandangan fatalistik yang memisahkan bencana dari perbuatan manusia. Dedy Tri Riyadi, kurator kegiatan ini, menekankan bahwa bencana muncul sebagai hasil interaksi antara hujan ekstrem, kerusakan lingkungan, kelalaian manusia, dan ketimpangan kuasa. Nada ini terasa sejak puisi pembuka, “Arus Deras Itu” karya Ahmadun Yosi Herfanda, yang menampilkan banjir bandang sebagai tentara Tuhan yang memperingatkan manusia akan keserakahannya. Sungai, meunasah, kampung, dan tubuh manusia menjadi satu lanskap kehancuran yang religius sekaligus ekologis.
Pendekatan reflektif juga muncul dalam puisi “Variabel Liar Persamaan” karya Rintis Mulya. Di sini, banjir digambarkan sebagai persamaan yang tak bisa diselesaikan karena hutan hilang dari sistem, lereng gunung menjadi garis putus-putus, dan curah hujan berubah menjadi variabel liar. Selain itu, puisi-puisi seperti karya Ahmad Md Tahir dari Singapura dan Fakhrunnas MA Jabbar menghadirkan kritik sosial, menyoroti kelalaian manusia dalam menghadapi peringatan bencana dan kerusakan ekologis yang terus berlangsung.
Dimensi kehilangan personal dan spiritual juga terasa kuat. Puisi “November Rain” karya Nanang R. Supriyatin dan “Doa untuk Kampung Halaman” oleh Riri Satria menampilkan duka keluarga dan komunitas yang terdampak bencana. Selain itu, Fikar W. Eda melalui “Sobekan Perca Tanah Gayo” menekankan bahwa longsor dan banjir tidak hanya merusak infrastruktur, tetapi juga memutus hubungan manusia dengan alam dan sejarah lokal. Personifikasi air dan tanah juga menegaskan bahwa kerusakan ini adalah akibat dari tindakan manusia, bukan semata kehendak alam.
Iwan Kurniawan, jurnalis Tempo dan penggagas kegiatan ini, menegaskan bahwa puisi-puisi tersebut menjadi tanda cinta, bukan dalam arti romantik, tetapi sebagai keberanian untuk menyebut luka, menunjuk sebab, dan menolak lupa. Buku ini dijadwalkan terbit Desember 2025 oleh Ruang Merdeka Inspira dan akan diluncurkan pada 19 Desember 2025 di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin melalui acara “Panggung Puisi Bencana Sumatera”. Acara ini akan diwarnai pembacaan puisi, testimoni penyintas, dan donasi untuk korban. Dengan hadirnya buku ini, puisi kembali menegaskan kemampuan sastra untuk memanusiakan angka dan statistik, mengembalikan wajah, suara, dan nama-nama mereka yang hanyut bersama air.***









