PANTAU LAMPUNG- Kejaksaan Tinggi Lampung berhasil memenangkan sidang pra peradilan terkait penetapan tersangka terhadap Direktur Utama PT LEB, M. Hermawan Eriadi, yang digelar pada Senin, 8 Desember 2025. Hakim tunggal Muhammad Hibrian memutuskan untuk menolak seluruh permohonan pemohon, sehingga status tersangka M. Hermawan tetap berlaku dan penetapan oleh Kejati Lampung dinyatakan sah berdasarkan hukum yang berlaku.
Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, hakim menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak memiliki dasar yang cukup, sehingga penetapan tersangka tetap dijalankan. “Menimbang hasil persidangan, hakim menolak permohonan pemohon,” ujar Muhammad Hibrian di ruang sidang. Keputusan ini secara langsung menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII tidak berlaku secara otomatis dalam kasus ini, karena penyidik Kejati Lampung telah melakukan langkah pemeriksaan yang sesuai dengan ketentuan KUHAP.
Sebelumnya, dalam sidang pra peradilan, sejumlah saksi ahli dari Universitas Indonesia, termasuk Akhyar Salmi dan Dian Puji Nugraha Simatupang, menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh Kejati Lampung terhadap M. Hermawan dianggap tidak sah. Mereka menekankan bahwa calon tersangka seharusnya diperiksa secara materiil sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Namun, Kejati Lampung membantah hal tersebut dan menegaskan bahwa pemohon telah diperiksa sebagai saksi, yang menurut KUHAP sudah cukup untuk menetapkan tersangka.
Dian Simatupang, Ketua Peminatan Hukum Keuangan Publik dan Perpajakan Universitas Indonesia, menyampaikan bahwa penetapan tersangka seharusnya didasarkan pada laporan audit kerugian negara yang jelas dari lembaga resmi. “Penyidik tidak boleh menetapkan tersangka korupsi hanya berdasarkan indikasi. Audit harus menunjukkan kerugian negara yang nyata, pasti, dan terukur, baru penetapan tersangka sah secara hukum,” ujarnya di persidangan. Dian juga menekankan pentingnya konfirmasi fakta di lapangan dan bukti audit yang lengkap sebagai dasar hukum yang sah.
Selain itu, kuasa hukum pemohon, Riki Martim, menyoroti kelengkapan berkas dan bukti yang digunakan Kejati Lampung. Menurutnya, berkas sangkaan kerugian negara terhadap kliennya tidak lengkap, dan hanya berupa beberapa lembar dari ratusan halaman dokumen. Hal ini dianggap tidak memenuhi standar alat bukti yang sah sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2020. Akhyar Salmi pun menambahkan bahwa bukti yang tidak utuh tidak dapat dianggap sebagai bukti yang sah.
Sidang hari keempat pada Rabu, 3 Desember 2025, juga menghadirkan pertanyaan penting mengenai fasilitas negara yang diterima PT LEB. Jaksa menanyakan apakah Participating Interest (PI) sebesar 10% termasuk fasilitas negara. Dian menjawab tegas bahwa PI 10% bukan fasilitas negara, melainkan memberikan keuntungan bagi negara atau daerah dalam bentuk dividen. “Jika tidak ada hibah, pengurangan, atau pembebasan pajak dari pemerintah, maka PI bukan fasilitas negara,” tegasnya.
Dengan keputusan hakim Muhammad Hibrian, seluruh argumentasi saksi ahli terkait SEMA dan Putusan MK tidak diterima sebagai dasar untuk membatalkan penetapan tersangka. Hal ini menegaskan bahwa status tersangka M. Hermawan Eriadi tetap berlaku dan Kejati Lampung berhak melanjutkan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dana PI 10% yang melibatkan pengelolaan migas di Indonesia.
Keputusan ini menjadi penting bagi pengelolaan hukum tindak pidana korupsi di sektor migas, karena menegaskan bahwa penetapan tersangka harus dilakukan berdasarkan prosedur hukum yang sah dan bukti yang cukup, bukan semata-mata klaim indikatif. Dengan demikian, Kejati Lampung mendapat kepastian hukum untuk melanjutkan proses penyidikan dan memastikan akuntabilitas pengelolaan dana negara di PT LEB.***








