PANTAU LAMPUNG– Penegakan hukum atas dugaan korupsi dana Participation Interest (PI) 10% di PT Lampung Energi Berjaya (LEB) kembali menuai sorotan publik. Kali ini, kritik pedas datang dari Politisi Senior Lampung sekaligus mantan Direktur Utama PT Wahana Raharja, Ferdi Gunsan. Melalui kanal YouTube pribadinya, Gunsan Talk, yang tayang Selasa (23/9/2025), Ferdi menilai Kejati Lampung melakukan blunder fatal dalam penyampaian informasi kepada publik.
Blunder tersebut bermula dari press release yang disampaikan Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Lampung, Armen Wijaya, pada Senin malam (22/9/2025), sekitar pukul 22.00 WIB. Dalam pernyataannya, Armen menyebut dugaan korupsi PI 10% di Wilayah Kerja (WK) OSES berkaitan dengan “offshare”. Padahal, istilah yang benar dalam industri migas adalah “offshore”.
Menurut Ferdi, kesalahan penyebutan istilah teknis ini bukan sekadar kekeliruan sepele, melainkan menunjukkan lemahnya pemahaman pejabat penegak hukum terhadap materi yang sedang disampaikan. “Ini bukan main-main. Terminologi offshore sudah baku dalam dunia migas. Kalau sampai Aspidsus salah sebut jadi offshare, bagaimana publik bisa percaya pada penjelasan mereka?” tegas Ferdi.
Lebih jauh, Ferdi juga menegaskan bahwa PI 10% bukan semata-mata bersumber dari WK OSES, melainkan merupakan hak partisipasi yang dikelola oleh Pertamina Hulu Energi (PHE) OSES sebagai operator. Ia menilai Kejati Lampung perlu lebih teliti dalam menjelaskan duduk perkara agar tidak menyesatkan opini publik.
“Ini Participating Interest, bukan WK OSES saja. Operatornya adalah Pertamina Hulu Energi. Jadi harus jelas. Jangan sampai penyampaian informasi yang salah membuat masyarakat salah paham,” ujarnya.
Kritik ini, menurut Ferdi, sangat penting agar masyarakat mendapatkan pemahaman yang benar mengenai kasus yang sedang disidik. Ia mengingatkan bahwa penegakan hukum adalah hal yang serius, sehingga akurasi informasi menjadi mutlak diperlukan.
Kasus dugaan korupsi PI 10% WK OSES sendiri hingga kini masih dalam tahap penyidikan. Tim penyidik Kejati Lampung telah memeriksa sejumlah pihak, termasuk mantan direksi PT LEB, serta menyita beberapa dokumen penting. Dana partisipasi ini sejatinya ditujukan untuk memberikan manfaat besar bagi daerah, khususnya Lampung, namun justru terjerat dugaan penyalahgunaan.
Publik kini semakin mempertanyakan kredibilitas Kejati Lampung. Kesalahan teknis seperti yang dikritisi Ferdi Gunsan dikhawatirkan mencoreng wibawa institusi penegak hukum dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum yang sedang berlangsung. Pertanyaan besar pun muncul: apakah Kejati Lampung benar-benar siap dan serius menangani kasus korupsi yang menyangkut kepentingan besar daerah ini?***