PANTAU LAMPUNG— Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang awalnya digadang-gadang sebagai kebijakan unggulan untuk meningkatkan gizi anak-anak sekolah, kini menjadi sorotan karena kenyataan yang jauh dari harapan. Alih-alih menyehatkan generasi muda, program ini justru memunculkan ironi: pemborosan anggaran negara dan penyediaan makanan yang tidak layak dikonsumsi.
Menurut data di lapangan, satu dapur MBG di Kecamatan Kemiling menghabiskan sekitar Rp45 juta per hari untuk melayani 3.000 siswa. Namun kenyataan di SD Negeri 2 Beringin Raya, Kota Bandar Lampung, memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Banyak menu yang disediakan sering basi atau rusak, sehingga siswa terpaksa menerima pengganti yang minim gizi, seperti susu UHT.
Seorang wali murid menuturkan pengalamannya, “Kemarin anak saya dikasih spageti, tapi basi. Enggak boleh dimakan sama gurunya. Sebagai gantinya, cuma dikasih susu Indomilk.” Pernyataan ini menegaskan bahwa meski anggaran yang digelontorkan sangat besar, kualitas makanan yang sampai ke siswa justru jauh dari kata layak.
Seorang guru wali kelas yang memilih anonim pun membenarkan fakta tersebut. Ia menjelaskan, “Iya benar, siswa kelas siang hanya dapat susu saja kemarin karena spageti basi jadi dikembalikan.” Kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan kualitas, mulai dari persiapan hingga distribusi makanan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai manajemen program MBG yang seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah.
Ironi semakin terlihat ketika pemerintah secara rutin mengklaim keberhasilan program MBG sebagai bukti kepedulian terhadap gizi anak-anak. Namun realita di lapangan sangat berbeda: anak-anak sekolah harus menerima makanan seadanya, sebagian tidak layak konsumsi, sementara anggaran puluhan juta rupiah per dapur setiap hari seolah “menguap” tanpa manfaat nyata bagi penerima utama, yakni siswa.
Selain pemborosan finansial, kondisi ini juga menimbulkan risiko psikologis bagi anak-anak. Mereka yang menerima makanan tidak layak makan bisa mengalami kekecewaan, kehilangan minat untuk makan, hingga dampak negatif terhadap kesehatan dan pertumbuhan. Orang tua pun merasa cemas dan kecewa, karena kontribusi pajak mereka tampak tidak memberikan manfaat langsung bagi anak-anak mereka.
Kritik terhadap MBG juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas. Tidak ada mekanisme transparan yang memastikan setiap rupiah anggaran benar-benar digunakan untuk tujuan program, mulai dari pengadaan bahan, pengolahan, hingga distribusi ke sekolah. Hal ini membuka peluang terjadinya praktik boros dan penyalahgunaan anggaran.
Masyarakat kini menuntut evaluasi menyeluruh dan perbaikan prosedur, agar program MBG kembali sesuai tujuan awal: menyediakan makanan bergizi, aman, dan layak bagi seluruh siswa. Pengawasan ketat, keterlibatan orang tua, serta mekanisme pelaporan yang transparan menjadi kunci agar setiap anak benar-benar mendapatkan manfaat dari anggaran yang digelontorkan.
Pertanyaan besar tetap menggantung di udara: jika bukan anak-anak yang menerima manfaat, siapa yang sebenarnya menikmati anggaran MBG ini? Tanpa tindakan nyata, program yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional justru bisa menjadi simbol pemborosan dan ketidakadilan bagi generasi penerus.***