PANTAU LAMPUNG– YLBHI dan LBH Bandar Lampung mengkritik keras pernyataan Kapolres Lampung Tengah yang menyatakan telah mengantongi nama-nama oknum provokator dalam aksi spontan masyarakat dari tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha. Aksi ini berlangsung dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia dengan melakukan penanaman di lahan yang selama puluhan tahun menjadi sumber konflik dengan PT BSA. Pernyataan aparat dianggap melemahkan perjuangan rakyat dan mengalihkan perhatian dari pokok masalah, yaitu sengketa agraria yang telah lama membelit warga.
Dalam diskusi dan siaran persnya, LBH Bandar Lampung menekankan bahwa aksi penanaman yang dilakukan masyarakat merupakan bentuk ekspresi rakyat untuk merebut kembali ruang hidup yang telah dirampas oleh korporasi. Menyebut warga sebagai “provokator” adalah strategi lama untuk menutup mata dari sejarah panjang konflik agraria dengan PT BSA, yang merampas hak hidup ribuan keluarga petani di Anak Tuha.
Pernyataan Kapolres Lampung Tengah dinilai menunjukkan keberpihakan aparat pada kepentingan bisnis perkebunan daripada melindungi hak rakyat. Aparat seharusnya hadir untuk menengahi konflik agraria secara adil, bukan melakukan kriminalisasi dan menargetkan warga yang memperjuangkan haknya. Tuduhan provokator berpotensi memperkuat represi, membungkam solidaritas masyarakat, dan menjauhkan penyelesaian yang berkeadilan.
Keberpihakan aparat terlihat jelas dengan panggilan pemeriksaan sebagai saksi yang dilayangkan kepada delapan warga dari tiga kampung, hanya satu hari pasca kegiatan penanaman. Proses yang cepat ini berbeda jauh dengan lambannya penanganan sepuluh laporan polisi masyarakat miskin di wilayah hukum Polda Lampung yang telah berjalan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun tanpa kepastian. Ironisnya, dalam percepatan laporan perusahaan, penyidik bahkan melakukan kesalahan penulisan norma hukum yang digunakan.
Berdasarkan Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019, penyelidikan dilakukan untuk mencari dan menemukan apakah suatu peristiwa merupakan tindak pidana, sedangkan penyidikan bertujuan mengumpulkan bukti untuk menemukan tersangka. Dalam kasus Anak Tuha, tidak ada peristiwa tertangkap tangan tindak pidana yang terjadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana penyidik bisa menaikkan status laporan ke tahap penyidikan tanpa melalui proses penyelidikan yang jelas. Jika dianggap tindak pidana, pertanyaan muncul mengapa tidak dilakukan penangkapan terhadap ratusan warga yang melakukan kegiatan penanaman di lahan konflik tersebut.
YLBHI dan LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa konflik ini bersifat struktural agraria, bukan pidana. Warga tiga kampung berhak atas tanah yang telah diwariskan nenek moyangnya. Segala bentuk kriminalisasi melalui stigma “provokator”, pemanggilan, intimidasi, atau ancaman penangkapan adalah pelanggaran hak asasi manusia dan perampasan ruang hidup rakyat. Penyelesaian konflik harus melalui dialog yang seimbang, mengedepankan keadilan bagi warga yang telah lama menderita akibat sengketa lahan. Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan bisnis yang hanya menguntungkan segelintir pihak dengan mengorbankan rakyat kecil.***











