PANTAU LAMPUNG– Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung mendorong aparat penegak hukum untuk membuka kembali dokumen Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Tulang Bawang tahun 2017 serta hasil penelitian akademisi Universitas Lampung yang dipublikasikan oleh Intelegensia Media pada tahun yang sama. Keduanya dinilai sebagai kunci pembuka “kotak pandora” berbagai dugaan pelanggaran hukum dan agraria oleh perusahaan raksasa perkebunan, Sugar Group Companies (SGC).
Ketua BEM Unila, M. Ammar Fauzan, menegaskan bahwa hasil pansus dan kajian akademik tersebut telah memberikan gambaran kuat mengenai indikasi manipulasi administratif, pelanggaran tata ruang, serta perampasan hak atas tanah masyarakat adat di wilayah konsesi SGC.
“Ini bukan sekadar laporan teknis, tetapi sebuah tesis empiris tentang kerakusan administratif yang dibungkus dalam legitimasi hukum konsesi,” kata Ammar, Senin, 4 Agustus 2025.
Indikasi Manipulasi dan Pelanggaran Tata Ruang
Dokumen Pansus DPRD Tulang Bawang 2017 menyebut bahwa berdasarkan SK BPN Tulang Bawang tertanggal 8 Maret 2007, HGU resmi milik SGC hanya seluas 86.455,99 hektar. Namun, dalam praktiknya, perusahaan mengelola hingga 124.092,80 hektar—selisih lebih dari 37.000 hektar. Bahkan kawasan konservasi seperti Rawa Bakung diduga turut dimasukkan ke dalam wilayah konsesi tanpa izin resmi atau kajian lingkungan memadai.
Pansus juga menyoroti perbedaan peta HGU antar instansi, termasuk antara BPN, pemerintah daerah, dan pihak perusahaan, yang menimbulkan konflik tumpang tindih data serta potensi pelanggaran hukum tata ruang.
*Hasil Kajian Akademik: HGU Sebagai Alat Kooptasi Tanah Rakyat*
Tiga akademisi Universitas Lampung, Dedy Hermawan, Dharmawan Purba, dan Yusdianto, dalam penelitiannya, mengungkap dugaan adanya tindak pidana dalam praktik korporasi SGC. Mereka menilai bahwa izin HGU telah digunakan sebagai instrumen ekspansi hukum untuk mengalienasi tanah masyarakat adat tanpa kompensasi dan tanpa skema kemitraan plasma yang adil.
Penelitian itu menggambarkan struktur konflik multidimensi—dari ketimpangan administratif, keberpihakan kepada modal, hingga penghilangan hak ulayat masyarakat di Desa Gedung Meneng dan Dente Teladas.
Desakan untuk Audit Independen dan Restitusi Sosial
Sejumlah lembaga masyarakat sipil seperti Front Lampung Menggugat juga telah lama menyerukan dilakukannya audit ulang atas seluruh HGU milik SGC, termasuk pengukuran ulang lahan oleh BPN serta verifikasi ulang melalui DPRD Provinsi Lampung dan Komisi II DPR RI.
“Kami menolak narasi yang menyatakan bahwa audit atas SGC akan menyebabkan PHK massal. Justru sebaliknya, audit adalah bukti bahwa negara masih punya wibawa atas korporasi,” tambah Ammar.
Menurut BEM Unila, evaluasi terhadap SGC tidak cukup hanya menyangkut aspek administratif seperti luas HGU, tetapi juga harus menyentuh aspek keadilan sosial—termasuk pemulihan hak ulayat, mekanisme plasma yang adil, serta transparansi dalam pajak pertanahan.
Seruan untuk Negara: Jangan Kalah oleh Korporasi
BEM Unila menegaskan bahwa sikap negara dalam kasus ini menjadi ujian validitas terhadap komitmen reforma agraria. Jika perbedaan 37.636 hektar lahan tidak ditindaklanjuti melalui audit dan proses hukum, maka keadilan agraria yang dijanjikan menjadi semu.
“Sebagai lembaga kritis akademik, kami menyerukan agar negara memihak kepada hukum sosial rakyat—bukan kepada logika bisnis korporasi gula raksasa,” tutup Ammar.***