PANTAU LAMPUNG– Harapan agar program pemutihan pajak kendaraan bermotor mampu mengerek Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Lampung tampaknya masih jauh panggang dari api. Wakil rakyat yang semestinya menjadi jembatan solusi, justru disorot publik karena dinilai kurang membumi, dan lebih sibuk berkutat dengan teori-teori yang tak menyentuh realita rakyat.
Program pemutihan pajak sejatinya dimaksudkan sebagai stimulus untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam membayar kewajiban pajak kendaraan. Namun, jika rakyat masih merasa dicekik oleh beban ekonomi, kebijakan ini justru bisa memperkuat stigma bahwa pajak hanyalah alat pemalak resmi, bukan instrumen pembangunan.
“Iya, kita mendukung pajak kendaraan demi kualitas udara dan keteraturan. Tapi yang membayar dampaknya justru rakyat, sementara perusahaan kendaraan makin gencar jualan,” sindir seorang warga dengan nada getir.
Keluhan tak berhenti di situ. Emisi kendaraan bermotor disebut telah menjadi beban bagi paru-paru masyarakat—mulai dari ibu muda yang mengandung, hingga bayi dari kisah mantan. Jalanan padat dan kota yang pengap telah menjadi bukti nyata bahwa masalah transportasi bukan sekadar soal pajak, tapi soal kebijakan terintegrasi yang belum juga hadir.
Tak sedikit yang berpandangan bahwa jika pemerintah serius ingin menarik pajak, perusahaan penjual kendaraanlah yang harus menanggung beban lebih besar. Pasalnya, mereka terus mendorong konsumsi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan infrastruktur.
“Yang jualan kendaraan enak, yang macet rakyat. Yang untung mereka, yang ngeluh kita. Pajak? Kita juga,” ucap warga lainnya dengan logika yang sulit terbantahkan.
Sementara itu, di ruang-ruang sidang, wakil rakyat masih sibuk membahas traktat ekonomi dan strategi fiskal. Sayangnya, rakyat yang dipajaki tak kunjung merasakan manfaat langsung dari pajak yang dibayarkan. Jalan rusak, transportasi publik minim, dan daya beli stagnan menjadi potret muram kontradiksi kebijakan fiskal di daerah.
Maka lahirlah keresahan dalam seni bahasa rakyat: suara sinis, sindiran puitis, hingga satire getir yang menampar realitas. Pajak bukan hanya urusan angka, tetapi tentang keadilan sosial dan keberpihakan yang nyata.***