PANTAU LAMPUNG – Karya terbaru Isbedy Stiawan ZS, Satu Ciuman, Dua Pelukan, menjadi bahan kajian mendalam dalam diskusi sastra yang digelar di Taman Budaya Lampung pada Senin, 24 Februari 2024. Dua sudut pandang tajam dari para analis sastra menyoroti makna dan kedalaman puisi-puisi dalam buku ini.
Heri Wardoyo, seorang jurnalis dan penulis yang juga Ketua Satupena Lampung, mengupas puisi Isbedy melalui makalahnya yang berjudul Sungai yang Mengalir di Otak dan Taman dalam Ingatan: Algoritma Puitis Isbedy Stiawan. Ia menyatakan bahwa setiap puisi dalam buku ini menyimpan jejak emosi yang mengalir bak sungai serta ingatan yang tumbuh dalam taman kesadaran penyair.
“Dalam laboratorium pikiran, sinapsis menyala seperti ledakan kunang-kunang dalam gelap, menciptakan pola dari kekacauan,” ujar Heri. Ia menegaskan bahwa Isbedy, dengan lebih dari 55 buku yang telah diterbitkan, memiliki kemampuan unik dalam mengolah ide menjadi metafora yang kuat dan bermakna.
Menurut Heri, kreativitas seorang penyair adalah perpaduan antara pemikiran, visi, dan kontrol kognitif. “Ketika penyair melihat sungai, ia tidak hanya melihat aliran air, tetapi juga menangkap simbol waktu, luka yang mengalir, atau cinta yang abadi,” imbuhnya.
Heri membandingkan karya Isbedy dengan penyair besar dunia seperti William Wordsworth, Robert Frost, dan Emily Dickinson, yang juga menjadikan sungai sebagai metafora dalam puisi mereka. Ia juga menyoroti penggunaan taman sebagai simbol ingatan dalam puisi-puisi Isbedy, menghubungkannya dengan konsep waktu dan refleksi.
Sementara itu, Ari Pahala Hutabarat, Direktur Artistik Komunitas Berkat Yakin (KoBer) Lampung, menyoroti aspek lain dari puisi Isbedy. Menurutnya, Isbedy adalah penyair yang mampu mempertahankan rasa kagum dan jatuh cinta terhadap kehidupan dalam setiap karyanya, meski usianya telah matang.
“Isbedy adalah contoh bagaimana seorang penyair dapat terus menghasilkan karya yang penuh daya magis. Ia banyak menulis dalam perjalanan, dan ini tampak dalam lokus serta waktu yang tertera dalam puisi-puisinya,” ujar Ari.
Ari mengutip puisi Cerita dari Perjalanan, yang menggambarkan pertarungan batin antara keinginan untuk terus menjelajah dan kerinduan akan pulang.
“Puisi ini kontradiktif dan luar biasa!” tegasnya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Edi Siswanto ini juga menampilkan pembacaan puisi oleh berbagai seniman dan mahasiswa, termasuk Iin Zakaria, Iswadi Pratama, dan beberapa pelajar dari berbagai perguruan tinggi di Lampung.
Ketua panitia, Fitri Angraini, mengungkapkan rasa syukurnya atas suksesnya acara ini. “Kami sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung,” katanya.
Acara peluncuran buku ini turut dihadiri oleh tokoh sastra dan budaya Lampung, seperti Arman AZ, Imas Sobariah, Kepala Taman Budaya Lampung Ingga Setiawati, serta perwakilan dari berbagai komunitas seni dan perguruan tinggi. Momen ini semakin mengukuhkan posisi Isbedy Stiawan sebagai salah satu penyair paling berpengaruh di Indonesia.***