PANTAU LAMPUNG – Pemasangan jaring pengaman sampah laut di Pantai Lampung Marriott Resort & Spa, Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, memantik polemik. Fasilitas yang bertujuan menjaga kebersihan laut ini ternyata belum mengantongi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) meskipun proses pengajuan izinnya tengah berlangsung melalui OSS Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Ketua DPC HNSI Pesawaran versi Munas Bogor, Marpen Efendi, bersama sejumlah nelayan lokal, mendesak agar fasilitas tersebut dicabut hingga izin diterbitkan. Mereka menilai keberadaan jaring tersebut telah mengabaikan hak-hak nelayan tradisional.
Tidak Libatkan Nelayan Lokal
Marpen mengungkapkan bahwa jaring tersebut telah terpasang sejak awal pembangunan hotel hingga saat ini, tetapi masyarakat nelayan tidak pernah dilibatkan.
“Pemasangan jaring pengaman itu tidak memperhatikan kepentingan nelayan lokal yang telah lama menggantungkan hidupnya di laut,” ujar Marpen, Minggu, 19 Januari 2025.
Ia juga menyoroti bahwa meskipun pihak hotel telah mendapatkan izin dari Pemerintah Provinsi Lampung, hal itu tidak sejalan dengan UU Cipta Kerja yang menjadi dasar hukum utama dalam pemanfaatan ruang laut.
“Luas wilayah yang mereka gunakan mencapai tiga hektar. Dimana akses enam pintu yang dijanjikan untuk nelayan? Ini mencederai keadilan dan melanggar UUD 1945,” tegasnya.
Nelayan Sulit Akses Laut
Marpen menyebut sejumlah nelayan sempat dilarang mendekati kawasan jaring tersebut untuk memancing. Hal ini menimbulkan kekhawatiran adanya upaya privatisasi ruang laut.
“Kami harus memastikan bahwa laut tetap menjadi milik bersama, terbuka, dan adil untuk semua. Jangan sampai ada kesan ruang laut diprivatisasi oleh pihak tertentu,” ungkapnya.
Marpen meminta KKP untuk berdialog dengan masyarakat nelayan sebelum memberikan izin resmi.
Pemerintah Merespons
Kepala Bidang Kegiatan Penataan Ruang Laut (KPRL) Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung, Sadariah, menyatakan bahwa laut tetap menjadi ruang terbuka bagi semua pihak, termasuk nelayan.
“Kami belum menerima laporan resmi bahwa nelayan kesulitan mengakses area tersebut. Pintu akses sebenarnya tersedia,” ujarnya.
Meski begitu, Sadariah menegaskan bahwa pelaku usaha harus menyelesaikan izin KKPRL sebelum melanjutkan aktivitas mereka.
“Mereka harus mengikuti prosedur. Namun, saya juga memahami bahwa kebersihan laut penting untuk menunjang operasional wisata mereka,” jelasnya.
Harapan untuk Keadilan
Marpen berharap pemerintah lebih memperhatikan kepentingan nelayan lokal dalam pengelolaan ruang laut. Ia menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat agar tidak ada ketimpangan.
“Kami ingin memastikan bahwa nelayan tetap bisa mencari nafkah di laut tanpa ada batasan. Ruang laut harus dikelola secara adil dan terbuka untuk semua pihak,” tutupnya. ***