PANTAU LAMPUNG— Suasana tegang kembali menyelimuti ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Jumat (28/11/2025), saat majelis hakim melanjutkan persidangan terdakwa Nurhadi, mantan Sekretaris Mahkamah Agung, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi No. 126/Pid.Sus-TPK/2025. Agenda hari itu adalah pembacaan eksepsi atau keberatan resmi atas surat dakwaan yang dibacakan penuntut umum beberapa pekan lalu.
Tim kuasa hukum yang dipimpin Dr. Maqdir Ismail menyampaikan keberatan mendasar terhadap dakwaan Nomor 56/’TUT.01.04/24/11/2025 yang dibacakan KPK pada 18 November 2025. Fokus utama eksepsi mereka adalah ketidakjelasan dasar pidana yang dituduhkan kepada Nurhadi, termasuk perbedaan angka yang signifikan dalam dakwaan. “Dalam dokumen yang berbeda, angka kerugian negara disebut 300 miliar di satu sisi, sementara 170 miliar di sisi lain. Apa yang sebenarnya terjadi?” ujar Maqdir usai persidangan.
Menurut Dr. Maqdir, dakwaan yang disusun penuntut umum seharusnya tidak sekadar narasi kronologis, melainkan harus jelas menetapkan tindak pidana pokok yang dilakukan terdakwa. Namun, menurut tim pembela, KPK justru memperluas jalur perkara dengan memisahkan kasus suap dan gratifikasi dari perkara korupsi sebelumnya, lalu menambahkan dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “Langkah ini bukan hanya tampak tidak adil, tapi berpotensi memperlama hukuman atas satu perbuatan yang sama. Proses hukum seharusnya menegakkan keadilan dan kepastian hukum, bukan menjebak terdakwa,” tegasnya.
Standar ganda menjadi sorotan serius dalam eksepsi yang disampaikan kuasa hukum. Tim pembela menyoroti dugaan penerapan dua standar oleh KPK, khususnya terkait kasus yang melibatkan Rezky Herbiyono, menantu Nurhadi. Dalam eksepsi disebutkan bahwa setiap penerimaan uang atau fasilitas yang dilakukan Rezky selalu dikaitkan dengan jabatan mertuanya, tanpa meneliti konteks bisnis pribadi yang dijalankan Rezky.
Kuasa hukum membandingkannya dengan kasus Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, yang pernah menerima fasilitas jet pribadi. Saat itu, KPK menilai Kaesang bukan penyelenggara negara dan fasilitas tersebut belum tentu terkait jabatan ayahnya. “Jika fasilitas jet pribadi Kaesang bisa dianggap tidak terkait dengan jabatan ayahnya, mengapa penerimaan Rezky selalu dikaitkan dengan Nurhadi?” tulis kuasa hukum dalam eksepsi.
Dalam dokumen setebal puluhan halaman tersebut, pembela menekankan bahwa seluruh transaksi Rezky bersumber dari kegiatan bisnis pribadinya, tanpa sepengetahuan atau keterlibatan Nurhadi. Tidak ada bukti aliran dana dari Rezky kepada terdakwa, dan tidak terbukti adanya timbal balik yang terkait jabatan Sekretaris MA. “Kalau penerimaan Rezky dikaitkan dengan Nurhadi, itu sama saja dengan memperlakukan kasus Kaesang berbeda dengan standar hukum yang berlaku,” kata Dr. Maqdir.
Tim kuasa hukum menegaskan bahwa praktik berbeda dalam menilai subjek tersangka ini berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi sistem hukum nasional. “Apabila Majelis Hakim mengabaikan fakta ini, maka akan menjadi preseden buruk bagi peradaban hukum dan prinsip keadilan di Indonesia,” tegas mereka.
Persidangan Nurhadi dijadwalkan berlanjut pada Senin, 8 Desember 2025, dengan agenda mendengarkan tanggapan jaksa atas eksepsi terdakwa. Sementara itu, publik menantikan keputusan hakim: apakah akan menyoroti substansi kepastian hukum dan dugaan standar ganda, ataukah perkara Nurhadi kembali terseret dalam labirin proses hukum yang panjang dan kompleks.
Dengan sorotan publik yang tinggi, persidangan ini menjadi penanda penting bagi sistem peradilan korupsi di Indonesia. Eksepsi Nurhadi menantang prinsip keadilan dan kepastian hukum, sekaligus menjadi momen bagi hakim untuk menunjukkan keberpihakan terhadap fakta dan hukum, bukan sekadar prosedur formal.***








