PANTAU LAMPUNG– Keputusan mengejutkan Ketua Umum PSSI Erick Thohir memecat pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong, kini menjadi topik panas yang mengguncang dunia sepak bola nasional. Keputusan itu bukan hanya berdampak pada performa Timnas Indonesia yang anjlok, tetapi juga menimbulkan kerugian finansial besar bagi federasi sepak bola tanah air. Berdasarkan berbagai sumber, kerugian yang ditanggung PSSI disebut mencapai puluhan miliar rupiah, sebuah angka fantastis yang menimbulkan tanda tanya besar tentang efektivitas kebijakan yang diambil.
Kritik terhadap Erick Thohir datang dari berbagai pihak, salah satunya dari Effendi Siahaan, pelatih Sekolah Sepak Bola (SSB) Biru Alap-Alap. Dalam komentarnya usai menonton podcast Valentino Jebret bersama Patrick Kluivert di kanal Tio TV yang tayang Jumat, 24 Oktober 2025, Effendi menilai bahwa pemecatan Shin Tae-yong merupakan keputusan yang diambil secara terburu-buru dan tanpa analisis mendalam.
Menurut Effendi, dalam podcast tersebut tampak jelas bahwa proses perekrutan pelatih baru sudah dilakukan bahkan sebelum kontrak Shin Tae-yong berakhir. “Kalau kamu masih mempekerjakan seseorang tapi sudah membuka wawancara untuk penggantinya di bulan yang sama, itu bukan etika profesional. Itu menunjukkan bahwa keputusan sudah dibuat bahkan sebelum evaluasi dilakukan,” kata Valentino Jebret dalam perbincangan tersebut.
PSSI kini berada dalam sorotan tajam setelah pernyataan mantan anggota Exco PSSI, Arya Sinulingga, mengungkapkan bahwa federasi harus membayar kompensasi besar kepada Shin Tae-yong dan tim kepelatihannya. Tidak hanya itu, perekrutan pelatih baru asal Belanda, Patrick Kluivert, juga membutuhkan dana tambahan untuk kontrak dan fasilitas pendukung. Total pengeluaran yang dikeluarkan PSSI mencapai angka yang fantastis dan dinilai tidak sebanding dengan hasil yang diberikan di lapangan.
Effendi Siahaan menilai langkah tersebut sebagai bentuk inkonsistensi kebijakan PSSI di bawah kepemimpinan Erick Thohir. “Keputusan yang diambil seolah didorong oleh tekanan politik dan opini publik, bukan hasil analisis teknis. Padahal, Shin Tae-yong sudah membangun pondasi kuat bagi timnas, baik secara taktik maupun mentalitas,” ujarnya.
Sebelum pemecatan, Shin Tae-yong berhasil membawa Timnas Indonesia menunjukkan performa luar biasa di ajang internasional. Garuda sempat menahan imbang tim-tim kuat seperti Arab Saudi dan Australia, bahkan hampir menang atas Bahrain sebelum kebobolan di menit akhir. Hasil-hasil ini menjadi bukti bahwa Indonesia mulai berani tampil dengan gaya permainan modern dan disiplin tinggi.
Selain itu, Shin Tae-yong dikenal sebagai sosok yang menanamkan mental juang serta kedisiplinan luar biasa pada para pemain muda. Di bawah asuhannya, banyak bakat muda muncul ke permukaan dan menjadi tulang punggung tim nasional. Ia juga memperkenalkan sistem latihan berbasis sains, memadukan teknologi analisis video, serta pendekatan gizi dan psikologi untuk meningkatkan performa pemain. Semua itu kini terancam hilang karena pergantian pelatih yang mendadak.
Namun, sejak kedatangan Patrick Kluivert, arah permainan Timnas Indonesia justru kehilangan identitasnya. Menurut Effendi, Kluivert dan timnya tidak melanjutkan filosofi permainan yang telah dibangun oleh Shin Tae-yong. “Latihan kini lebih banyak bersifat fisik tanpa pendekatan strategi mendalam. Pemain seperti kehilangan arah, tidak tahu lagi pola permainan apa yang harus diikuti,” ujar Effendi.
Penampilan Indonesia di babak lanjutan kualifikasi Piala Dunia pun merosot drastis. Dari tim yang sempat berada di papan atas klasemen, kini Indonesia terpuruk dengan catatan buruk. Dukungan publik yang semula menggebu-gebu kini berubah menjadi kekecewaan mendalam. Para suporter Garuda menilai Erick Thohir gagal menjaga stabilitas dan kontinuitas dalam proyek pembangunan sepak bola nasional.
Efendi menegaskan bahwa masalah terbesar bukan hanya soal pelatih, tetapi juga pola kepemimpinan di PSSI yang dinilai terlalu cepat mengambil keputusan besar tanpa melibatkan diskusi yang transparan dengan para ahli sepak bola. “Kalau setiap kali ada tekanan lalu pelatih dipecat, kapan kita bisa punya visi jangka panjang? Sepak bola bukan proyek setahun-dua tahun, ini soal pembangunan sistem,” katanya.
Shin Tae-yong sendiri telah meninggalkan warisan berharga berupa semangat profesionalisme, kedisiplinan, dan keyakinan bahwa Indonesia mampu bersaing di level Asia. Banyak pihak berharap PSSI masih bisa belajar dari kesalahan besar ini, agar kejadian serupa tidak terulang.
Kini, publik menunggu bagaimana Erick Thohir dan jajarannya menjawab tuntutan transparansi dan tanggung jawab atas kerugian besar yang timbul akibat keputusan kontroversial ini. Apakah PSSI akan tetap melanjutkan strategi baru bersama Kluivert, atau justru kembali mempertimbangkan arah baru yang lebih berkesinambungan? Yang pasti, luka akibat pemecatan Shin Tae-yong masih terasa dalam di hati jutaan pendukung Garuda.***









