PANTAU LAMPUNG – Kritikus sastra Indonesia, Maman S. Mahayana, menegaskan bahwa penerjemah memiliki peran sentral dalam memperkenalkan karya sastra Indonesia ke kancah internasional. Dalam Seminar 3 Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII yang digelar di Teater Kecil TIM Jakarta, Jumat (12/9/2025), Maman menyoroti pentingnya terjemahan yang berkualitas, terutama karya-karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan lokal.
Menurut Maman, salah satu tokoh yang pantas mendapat penghargaan sebagai penerjemah terbaik Indonesia adalah Ali Audah. “Ali Audah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mentafsirkan karya asli, sehingga terjemahan ke bahasa lain tetap memelihara esensi dan keindahan sastra asli,” ujarnya. Maman menekankan bahwa proses penerjemahan bukan sekadar memindahkan kata-kata, tetapi juga mengandung tafsir dan pemahaman mendalam terhadap konteks budaya, sosial, dan sejarah dari karya yang diterjemahkan.
Sejalan dengan Maman, Zefri Ariff, kritikus sastra asal Brunei Darussalam, menekankan bahwa penerjemah harus memiliki wawasan luas tentang budaya dan konteks sosial di mana karya sastra itu lahir. Menurutnya, kualitas penerjemahan akan menentukan bagaimana karya sastra diterima di masyarakat internasional. “Negara yang mendukung tradisi penerjemahan memiliki peluang lebih besar untuk meraih penghargaan sastra bergengsi. Contohnya, Korea sangat peduli pada kualitas penerjemahan karya mereka ke bahasa lain,” kata Zefri.
Maman juga menekankan pentingnya pengakuan terhadap penerjemah. Ia mencontohkan dunia musik, di mana pencipta lagu dan musisi mendapatkan royalti serta penghargaan yang layak. “Begitu juga dengan penerjemah, mereka harus dihargai dengan cara yang sama, termasuk royalti dan penghargaan resmi. Tanpa itu, motivasi untuk menerjemahkan karya berkualitas akan menurun,” jelasnya.
Kekhawatiran Maman ini muncul menyusul kasus yang menimpa sastrawan Helvy Tiana Rosa. Beberapa karyanya diterjemahkan tanpa izin atau tanpa menyebut penulis asli, sehingga menimbulkan praktik plagiat. “Kasus seperti ini menunjukkan bahwa regulasi dan penghargaan terhadap penerjemah dan penulis asli harus diperkuat,” tambahnya.
Seminar ini dimoderatori Eva Yenita Syam, S.S., M.Pd., dan menjadi sesi yang paling menarik bagi peserta PPN XIII. Terlebih lagi, penerjemahan karya sastra dari lima negara Nusantara ke bahasa Inggris masih tergolong rendah. Hal ini membuka peluang besar bagi pengembangan budaya literasi Indonesia agar dapat dikenal secara global.
Dalam penutupannya, Maman menegaskan bahwa politik bahasa harus selaras dengan penguatan karya-karya sastra terjemahan. “Sastra yang diterjemahkan dengan baik tidak hanya memperluas jangkauan pembaca, tetapi juga menguatkan identitas budaya dan politik bahasa Indonesia di dunia internasional,” tutupnya.***