PANTAU LAMPUNG— Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII resmi dibuka di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Kamis malam (11/9/2025), dengan dihadiri penyair dari lima negara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand. Acara dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Mochamad Miftahullah Tamary, serta Direktur Bina SDM Lembaga dan Pranata Kementerian Kebudayaan, Irini Dewi Wanti SS MSP.
PPN XIII merupakan kelanjutan dari inisiatif yang digagas di Medan, Sumatera Utara pada 2007 dan telah berlangsung secara bergiliran setiap dua tahun di berbagai kota dan negara, termasuk Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand. Tahun ini, PPN kembali ke Jakarta sebagai tuan rumah dengan melibatkan seratusan penyair yang lolos kurasi, serta sejumlah peninjau dari berbagai latar belakang seni dan budaya.
Ketua panitia PPN XIII, Ahmadun Yosi Herfanda, menyampaikan bahwa kegiatan ini bukan sekadar pertemuan sastra, melainkan juga sarana memperkuat persaudaraan antarbangsa dan menjaga semangat perdamaian di tengah dinamika global. “Ratusan penyair lima negara berkumpul di Jakarta. Selama empat hari, 11-14 September 2025, kita akan menggelar berbagai kegiatan mulai dari seminar, pembacaan puisi, hingga kolaborasi musikalisasi puisi. Semangat persaudaraan dan perdamaian adalah inti dari PPN,” ujarnya.
Dalam pembukaan, hadir pula tokoh penting seni dan sastra, antara lain Ketua Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, LK Ara, Taufik Ikram Jamil, Ulfatin Ch., Fakhrunnas MA Jabbar, dan Anwar Putra Bayu. Perwakilan dari negara sahabat, seperti Shamsudin Othman, Norhayati Ab. Rahman, Zefri Ariff, Jawawi Bin Hj. Ahmad, Prof. Dr. Asmiaty Amat, serta tokoh sastra Asia lainnya turut hadir menyemarakkan ajang ini.
Ahmadun Yosi Herfanda menekankan, PPN pertama kali dideklarasikan di Medan pada 2007 dengan tujuan membangun jaringan kreatif lintas wilayah, menghidupkan budaya membaca dan menulis puisi, serta menjaga semangat persaudaraan yang mulai terkikis akibat konflik dan ketegangan global. “Di Nusantara, semangat persaudaraan dan perdamaian harus terus dijaga agar masyarakat bisa berkarya kreatif, dan ajang ini menjadi bukti nyata komitmen kita,” ujar Ahmadun.
Pembukaan PPN XIII juga dimeriahkan oleh pertunjukan Gambang Kromo dan pembacaan puisi oleh tokoh sastra nasional seperti Imam Maarif, Sutardji Calzoum Bachri, LK Ara, Helvy Tiana Rosa, serta penyair dari Malaysia dan Singapura. Kolaborasi musikalisasi puisi juga dilakukan oleh Ananda Sukarlan bersama Ratna, menampilkan karya-karya penyair Indonesia dengan sentuhan musik kontemporer.
Hari kedua, Jumat 12 September 2025, PPN XIII memasuki sesi seminar dengan pembicara dari berbagai negara, termasuk H. Jawawi Bin Hj. Ahmad (Brunei Darussalam), Prof. Dr. Asmiaty Bin Amat (Malaysia), Nik Rakib Nik Hassan (Thailand), Nissa Rengganis dan Dr. Ganjar Harimansyah (Indonesia), Dr. Norhayati Ab. Rahman (Malaysia), serta Hameed Ismail (Singapura). Sesi seminar ini fokus pada peran puisi dan sastra dalam membangun budaya perdamaian, memperkuat identitas lokal, serta mengembangkan kreativitas lintas batas negara.
Malam harinya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno akan memberikan orasi kebudayaan, diikuti pembacaan puisi dan musikalisasi puisi oleh para penyair dan tokoh. Sanggar Musikalisasi Puisi dan Sanggar Matahari turut menampilkan kolaborasi kreatif dengan anak-anak disabilitas, menegaskan inklusivitas dalam seni dan sastra.
Tokoh-tokoh sastra dan pejabat yang hadir untuk membaca puisi antara lain Walikota Banda Aceh Illiza Sa’adudin Djamaluddin, Farah Savira (Anggota DPRD DKI Jakarta), Bupati Bireuen H. Muklis, S.T., Chicha Koeswoyo, Awwabin Helmi (Thailand), Isbedy Stiawan ZS, Fikar W. Eda, Wan Nuryani, Ratna Ayu Budiarti, dan Ulfatin Ch.
PPN XIII tidak hanya menjadi ajang pertukaran karya, tetapi juga memperkuat jejaring penyair Nusantara dan internasional, membuka peluang kolaborasi lintas budaya, serta menegaskan peran puisi sebagai medium penghubung antara bangsa-bangsa. Kegiatan ini diharapkan dapat memperluas apresiasi masyarakat terhadap seni sastra, menghidupkan kreativitas generasi muda, dan menegaskan posisi Indonesia sebagai pusat budaya literasi di kawasan Asia Tenggara.***