PANTAU LAMPUNG– Ratusan masyarakat dari berbagai organisasi, lembaga swadaya masyarakat, komunitas adat, dan jaringan aktivis lingkungan berkumpul dalam acara “Temu Rakyat Sumatera” yang berlangsung pada 6–8 September 2025 di Desa Sripendowo, Kecamatan Bandar Sribawono, Kabupaten Lampung Timur. Acara ini merupakan forum strategis yang dirancang untuk memperkuat solidaritas masyarakat sipil dan membangun strategi kolektif dalam menghadapi perampasan ruang hidup yang semakin marak terjadi di berbagai sektor.
Koordinator Temu Rakyat Sumatera, Sumaindra Jarwadi, menjelaskan bahwa para peserta mulai berdatangan sejak Jumat (5/9/2025) untuk mempersiapkan rangkaian kegiatan yang meliputi seminar, diskusi panel, Focus Group Discussion (FGD), lokakarya, hingga sesi advokasi. “Kehadiran peserta dari berbagai daerah menunjukkan kepedulian bersama terhadap isu perampasan ruang hidup. Ini bukan hanya soal mempertahankan lahan, tetapi juga menjaga hak hidup dan hak asasi manusia masyarakat,” ujar Sumaindra.
Tema yang diangkat, “Bangun Persatuan Gerakan Rakyat, Lawan Perampasan Ruang Hidup”, dipilih sebagai bentuk respons terhadap tren perampasan ruang hidup yang melibatkan aktor negara maupun perusahaan swasta. Fenomena ini, menurut Sumaindra, semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir dan menimbulkan ancaman serius bagi keberlanjutan lingkungan, demokrasi, serta kehidupan sosial masyarakat. Praktik perampasan kerap diikuti kekerasan fisik, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap masyarakat serta aktivis yang berjuang mempertahankan hak-hak mereka.
Enam sektor utama yang menjadi sorotan dalam diskusi antara lain pertambangan, perkebunan skala besar, proyek infrastruktur dan Proyek Strategis Nasional (PSN), pesisir dan pulau kecil, energi, serta kawasan hutan. Kasus nyata yang dibahas antara lain konflik di Rempang, Kappa, Malangsari, dan Kotabaru, yang menyoroti bagaimana masyarakat yang menentang perampasan justru mengalami tekanan hukum dan kekerasan. Beberapa aktivis dilaporkan mengalami intimidasi dan kriminalisasi, menunjukkan betapa rawannya posisi masyarakat kecil dalam menghadapi kepentingan ekonomi dan politik besar.
Selain menganalisis kasus-kasus konkret, Temu Rakyat Sumatera juga difokuskan untuk merumuskan strategi kolektif. Sesi FGD mendalami akar permasalahan, pola perampasan ruang hidup, serta membahas mekanisme perlindungan hukum dan advokasi yang efektif. Salah satu gagasan yang muncul adalah pembentukan sekretariat bersama atau forum dinamisator yang menjadi wadah komunikasi lintas wilayah untuk memperkuat koordinasi antarorganisasi masyarakat sipil di Sumatera.
Sumaindra menegaskan bahwa tujuan dari forum ini bukan sekadar bertemu dan berbagi pengalaman, tetapi juga menyusun langkah-langkah strategis yang dapat diimplementasikan secara nyata. “Kami ingin Temu Rakyat Sumatera menjadi tonggak lahirnya politik alternatif rakyat, sebuah upaya kolektif untuk menantang kebijakan yang cenderung menindas masyarakat dan merampas ruang hidup mereka,” tambahnya.
Rangkaian kegiatan akan diakhiri dengan deklarasi Manifesto Rakyat Sumatera, yang berisi kesepakatan sikap bersama para peserta untuk melawan perampasan ruang hidup rakyat. Manifesto ini diharapkan menjadi dokumen pedoman dan alat advokasi yang bisa digunakan oleh organisasi masyarakat sipil dalam memperjuangkan hak-hak warga dan menjaga keberlanjutan lingkungan di Sumatera.
Acara ini diharapkan menjadi titik awal penguatan solidaritas antar komunitas, memperluas jaringan advokasi, dan menegaskan bahwa masyarakat memiliki peran aktif dalam melindungi ruang hidup mereka sendiri dari praktik perampasan yang merugikan banyak pihak.***