PANTAU LAMPUNG- Krisis yang melibatkan Yayasan Siger dan DPRD Kota Bandar Lampung belakangan ini menjadi sorotan tajam publik. Persoalan ini mencuat akibat dugaan adanya ketidaktransparanan dalam pengelolaan sekolah yang berada di bawah naungan yayasan tersebut. Situasi ini semakin kompleks setelah muncul wacana bahwa DPRD dapat menyeret Ketua Yayasan serta pihak kepala sekolah ke ranah hukum apabila terbukti ada pelanggaran serius.
Sejumlah pakar hukum menilai, DPRD tidak boleh gegabah dalam menyikapi isu ini. Langkah investigasi yang terburu-buru tanpa memperhatikan prosedur hukum berpotensi menimbulkan kerugian lebih besar, bukan hanya bagi pihak yayasan, melainkan juga bagi dunia pendidikan di Lampung secara keseluruhan. Oleh karena itu, DPRD dituntut untuk bertindak profesional, melakukan kajian komprehensif, dan tidak terjebak pada tekanan opini publik semata.
Pakar hukum juga menekankan pentingnya memisahkan ranah politik dan hukum. DPRD memang memiliki kewenangan melakukan fungsi pengawasan, namun jika masalah yang dihadapi masuk kategori tindak pidana, penyelesaiannya harus diserahkan kepada aparat penegak hukum seperti kepolisian atau kejaksaan. Langkah ini diperlukan untuk menghindari bias politik yang dapat merusak integritas lembaga legislatif sekaligus menjaga agar proses hukum tetap berjalan objektif.
Selain itu, isu ini dinilai dapat menjadi momentum untuk mengevaluasi tata kelola yayasan pendidikan di Lampung. Banyak sekolah swasta bergantung pada yayasan sebagai pengelola, namun regulasi serta pengawasannya sering kali longgar. Jika tata kelola tidak diperbaiki, bukan tidak mungkin masalah serupa kembali mencuat di kemudian hari. Transparansi anggaran, akuntabilitas pengelolaan, serta profesionalisme manajemen pendidikan menjadi hal mendesak untuk diperkuat.
Dari perspektif sosial, polemik ini juga berimplikasi pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan. Jika masalah hukum sampai menyeret pimpinan yayasan dan kepala sekolah, dikhawatirkan akan berdampak pada psikologis siswa, orang tua, hingga para tenaga pendidik. Kondisi ini tentu tidak sehat bagi iklim belajar mengajar. Karena itu, berbagai pihak menilai penyelesaian yang tepat dan proporsional harus segera dicapai agar dunia pendidikan di Lampung tetap kondusif.
Dengan melihat kompleksitas persoalan ini, peran DPRD sangat krusial. Tidak hanya sekadar melakukan fungsi pengawasan, DPRD juga diharapkan menjadi fasilitator dialog antara yayasan, sekolah, dan masyarakat. Pendekatan persuasif dan transparan perlu diutamakan, tanpa mengesampingkan aspek hukum bila memang ditemukan pelanggaran. Pada akhirnya, kasus Yayasan Siger bisa menjadi pelajaran berharga bahwa dunia pendidikan harus dikelola secara bersih, jujur, dan akuntabel demi kepentingan generasi penerus bangsa.***