PANTAU LAMPUNG – Laga Bhayangkara Presisi Lampung FC kontra PSM Makassar di Stadion Sumpah Pemuda, Way Halim, Sabtu (16/8/2025), tak hanya meninggalkan skor imbang 1-1. Dua pelatih yang mendampingi tim, Paul Munster dan Bernardo Tavares, menampilkan kontras dalam hal komunikasi publik.
Pelatih Bhayangkara, Paul Munster, terkesan normatif dalam konferensi pers. Ia hanya menjawab seperlunya tanpa memberi penjelasan mendalam, bahkan ketika disinggung soal harapan suporter agar timnya bermain adaptif ala Arsenal.
“Saya tidak peduli Arsenal dan Arteta,” tegasnya singkat, Jumat (15/8/2025).
Setelah laga, Munster pun kembali bicara dengan nada datar. Ia hanya menyebut timnya kurang memaksimalkan peluang tanpa mengulas secara detail titik lemah permainan.
“Kami sudah berlatih penyelesaian akhir selama seminggu, tapi hasilnya memang belum maksimal,” ucapnya.
Bernardo Tavares: Komunikasi Publik Jadi Senjata
Berbeda 180 derajat, pelatih PSM Makassar, Bernardo Tavares, tampil lugas dan piawai membangun komunikasi. Ia bukan hanya memberi analisis teknis, tetapi juga menyelipkan gestur, intonasi, hingga perbandingan tokoh sepak bola dunia untuk memperkuat pesan.
Dalam konferensi pers, Tavares bahkan mengingatkan publik pada gaya Jose Mourinho yang berani mengkritik wasit secara terbuka. Ia menjabarkan dua momen kontroversial—penalti Bhayangkara dan dugaan handball lawan di akhir laga—dengan detail argumentasi.
“Sebelum ada sentuhan dari pemain kami, pemain Bhayangkara sudah terjatuh. Lalu di menit akhir ada handball, tapi wasit dan perangkat lainnya tidak mengambil keputusan,” jelasnya.
Tak berhenti di situ, Tavares juga menyinggung soal keterbatasan finansial PSM. Ia membandingkan dengan Pep Guardiola yang punya kemewahan memilih pemain bintang di setiap klubnya. Bahkan ia blak-blakan mengaku gagal merekrut dua pemain asing incaran karena kalah modal dari Bhayangkara.
“Saya ingin dua pemain asing yang kini ada di Bhayangkara. Tapi mereka memilih karena tahu klub ini punya lebih banyak uang,” ungkapnya.
Bicara Suporter dan Atmosfer Stadion
Tavares pun tak segan menyinggung masalah suporter. Ia menyampaikan kekecewaannya dengan laga kandang PSM di Pare-Pare yang sepi, lalu membandingkannya dengan atmosfer penuh di Way Halim.
“Atmosfer stadion penuh bisa memberi tekanan pada wasit. Itu yang saya lihat di sini. Selamat untuk Bhayangkara punya stadion dan atmosfer yang bagus,” katanya.
Dua Karakter, Dua Pendekatan
Kendati demikian, Paul Munster bukan tanpa rekam jejak. Ia pernah membawa Persebaya dan Bhayangkara masuk empat besar, meski gaya komunikasinya cenderung kaku dan minim ekspresi. Karakter keduanya jelas berbeda: Munster lebih pendiam, sementara Tavares menjadikan komunikasi publik sebagai senjata untuk meraih simpati dan dukungan.***