PANTAU LAMPUNG— Suara hujan mengguyur ringan langit Jakarta, namun tidak menghentikan langkah para pecinta sastra yang datang ke Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM), Sabtu 26 Juli 2025. Di antara panggung terbuka yang sederhana dan kursi-kursi tertata di bawah tenda, puisi mengalun bukan hanya dari teks, melainkan dari jiwa seorang perempuan bernama Andria C. Tamsin.
Ia tampil dalam rangkaian Hari Puisi Indonesia (HPI) ke-13, yang tahun ini dirancang lebih terbuka dan membumi—agar puisi kembali menyentuh publik, bukan hanya komunitas terbatas.
Andria, dosen Universitas Negeri Padang (UNP) yang juga penyair dan pembaca puisi senior, hadir tanpa sensasi. Tapi begitu ia membuka suara, suasana berubah. Larik-larik yang dibacanya bukan hanya didengar, tapi juga dirasakan.
Salah satu puisi yang ia bawakan, Puisi Komputer Teler karya Hamid Jabbar, dibacakan dengan irama yang tidak meledak-ledak, namun justru menghujam pelan-pelan. Kritik sosial yang tajam dalam puisi itu menjadi refleksi kontemporer yang kuat di tangan Andria.
“Aku bilang kalian dusta dusta dusta, tapi benak kalian semakin onak…”
Sejak dinobatkan sebagai pembaca puisi terbaik dalam ajang bergengsi H.B. Jassin tahun 1994, Andria tak pernah jauh dari panggung. Tak hanya tampil di Sumatera Barat, ia juga membawa puisi ke forum internasional seperti International Minang Literary Festival, hingga menjejakkan kaki ke Timur Tengah dalam perjalanan budaya dan spiritual.
“Puisi tidak bisa dipisahkan dari diri saya,” ucapnya selepas penampilan. “Puisi adalah jalan, bukan tujuan. Saya menempuhnya sambil mengajar, sambil hidup.”
Andria juga dikenal karena pandangan spiritualnya yang kuat dalam bersastra. Ia menyebut bahwa membaca puisi adalah bagian dari bentuk pengabdian.
“Puisi mendekatkan saya pada Tuhan. Ia jadi cara saya berdialog dengan-Nya,” kata perempuan yang pernah bersujud di Masjidil Haram berkat perjalanan bersama rombongan Rumah Asrizal Nur.
Meski sering dianggap sebagai sosok ‘juara’, ia tetap merendah. “Saya cukup disebut pembaca puisi terbaik. Untuk disebut sang juara, saya masih belajar,” ujarnya tersenyum.
Andria juga memiliki mimpi sederhana namun menyentuh: jika kelak dikukuhkan sebagai Profesor, ia ingin hari itu dimeriahkan dengan pembacaan puisi oleh penyair-penyair terbaik dari seluruh penjuru negeri.
“Bukan sekadar seremonial akademik. Saya ingin ada puisi yang hadir. Doakan bisa terwujud tahun depan,” harapnya.
Di tengah arus cepat dunia yang cenderung melupakan kedalaman, kehadiran Andria C. Tamsin di TIM malam itu mengingatkan satu hal penting: puisi masih relevan, masih menyentuh, selama ada yang membacanya dengan hati.
Dan Andria telah melakukan itu. Dengan tenang, tulus, dan penuh makna.***