PANTAU LAMPUNG — Tempe, pangan sederhana yang merakyat, kini tengah bersiap naik kelas. Menyusul peluncuran program makan bergizi gratis oleh pemerintah pusat, para pengrajin tempe di Bandar Lampung menyatakan kesiapan penuh untuk berkontribusi sebagai penyedia utama bahan pangan bergizi.
Arthur, pengrajin tempe asal Kupang Teba, Telukbetung Utara, mampu memproduksi hingga 100 kg tempe per hari. Ia menyebut harga jual tempe di pasaran sangat terjangkau—mulai dari Rp1.000 untuk ukuran ekonomis, Rp3.000 untuk ukuran sedang, hingga Rp5.000 untuk ukuran besar.
“Kami sesuaikan ukuran dengan kebutuhan pasar. Tempe kecil untuk sekali makan, yang sedang biasanya buat pedagang gorengan atau rumah tangga,” jelasnya.
Senada dengan Arthur, Sutrisno, pengrajin tempe di Jagabaya II, Way Halim, menyebut bahwa selama ini mereka memasok pasar-pasar tradisional seperti Pasar Koga, dan sudah memiliki pelanggan tetap.
Namun dengan munculnya program makan bergizi gratis, para pengrajin melihat peluang baru—bukan hanya dari sisi produksi, tapi juga penciptaan lapangan kerja dan kestabilan harga tempe nasional.
Seorang juru masak program makan bergizi gratis mengungkap, dalam satu selter penyedia makanan bagi 2.700 siswa di Kabupaten Pesawaran, diperlukan sekitar 250 papan tempe dengan total berat 62,5 kg.
Permintaan sebesar itu tentunya menjadi tantangan sekaligus peluang. Sebab, proses pembuatan tempe tidak instan. Dibutuhkan waktu hingga empat hari dari kedelai mentah hingga menjadi tempe siap konsumsi.
“Enggak bisa pesan mendadak. Harus ada jeda waktu produksi empat hari,” tegas Arthur dan Sutrisno dalam pernyataan terpisah.
Mereka juga menegaskan, meskipun menyambut positif program ini, mereka tidak bisa serta-merta menghentikan distribusi ke pelanggan lama demi pesanan baru. Namun keduanya menyatakan siap meningkatkan kapasitas produksi dan menambah tenaga kerja jika ada koordinasi dan perencanaan yang baik dari pemerintah.
Di balik semua ini, satu catatan penting mengemuka: ketersediaan bahan baku kedelai. Dengan ketergantungan pada impor, para pengrajin berharap ada kepastian pasokan agar harga tetap stabil dan tidak memicu kelangkaan di pasar umum—terutama karena tempe sudah menjadi menu utama dari rumah tangga hingga restoran.
Dengan semangat gotong royong, Arthur dan Sutrisno siap menyukseskan program unggulan Prabowo-Gibran, selama ekosistem produksi tempe diberi ruang tumbuh yang berkeadilan. Tempe bukan sekadar pangan, tapi simbol kekuatan pangan lokal yang bisa membawa dampak besar bagi generasi masa depan.***