Kiagus Bambang Utoyo
PANTAU LAMPUNG – Di negeri yang mengaku kaya, efisiensi anggaran menjadi slogan yang terus diulang dari ruang-ruang ber-AC para pejabat. Namun di gang-gang sempit dan dapur rakyat kecil, efisiensi bukan soal angka, melainkan soal bertahan hidup. Harga-harga yang melambung, tagihan yang terus datang, dan pendapatan yang stagnan membuat rakyat belajar berhemat bukan karena pilihan, tapi karena terpaksa.
Di atas kertas, efisiensi anggaran adalah solusi: menghapus pemborosan, mengefektifkan belanja, dan menyeimbangkan neraca. Tapi di bawah sana, rakyat masih menyusuri jalan rusak, menunggu bantuan yang tak kunjung tiba, dan menyaksikan gedung megah dibangun tanpa manfaat langsung.
“Demi rakyat,” kata para pejabat. Tapi rakyat tak lagi mudah percaya. Mereka melihat efisiensi justru memangkas hak-hak sosial mereka: subsidi berkurang, pelayanan publik melambat, dan kesejahteraan tetap menjauh. Ironisnya, para birokrat justru tetap menikmati gaji besar, tunjangan menggiurkan, dan fasilitas negara yang tak pernah ikut dipangkas.
Efisiensi sejati semestinya menghadirkan keadilan. Bukan hanya mengatur anggaran, tetapi memperjuangkan hak dasar rakyat: makanan terjangkau, sekolah layak, dan layanan kesehatan yang manusiawi. Rakyat tak butuh seminar efisiensi—mereka butuh bukti bahwa negara hadir dan berpihak.
Sayangnya, penghematan anggaran acap kali dipandang sebagai “kerugian” di kalangan birokrat. Rapat dikurangi, perjalanan dinas dibatasi, tunjangan dipangkas. Maka muncullah perlawanan diam-diam: prosedur diperlambat, kebijakan dibuat berliku, dan pemborosan dikemas dalam bentuk baru yang lebih rapi.
Di sisi lain, kerja sama luar negeri yang tak selektif justru menjadi bumerang: sumber daya tergadaikan, utang menggunung, dan keputusan strategis dikendalikan asing. Ribuan sarjana tak berdaya menyuarakan kepentingan bangsa karena kebijakan seringkali lahir dari meja kekuasaan, bukan dari ruang akademik.
Jika efisiensi hanya menjadi jargon politik, maka ia hanyalah kosmetik. Tapi jika dijalankan dengan keberanian, kejujuran, dan empati, maka efisiensi adalah bukti cinta negara kepada rakyatnya.
Kini waktunya bertanya: efisiensi anggaran ini untuk siapa? Untuk menghias laporan kinerja, atau untuk membangun kehidupan yang lebih layak bagi mereka yang setiap hari bertarung demi sesuap nasi?***