PANTAU LAMPUNG– Dewan Pakar JMSI Lampung dan Ikatan Jurnalis Profesional (IJP) Provinsi Lampung mengecam keras pelarangan jurnalis meliput debat publik calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pesawaran, Minggu 18 Mei 2025. Juniardi SIP SH MH, tokoh pers dan Ketua KIP periode pertama Lampung, menilai tindakan tersebut sebagai bentuk kejahatan demokrasi sekaligus pelanggaran terhadap kemerdekaan pers yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Debat kandidat adalah ruang transparansi dan wadah bagi masyarakat untuk menilai visi, misi, dan program calon pemimpin mereka. Menutup akses media sama dengan mengekang kemerdekaan pers dan merampas hak publik untuk mendapatkan informasi,” tegas Juniardi saat diwawancara.
Juniardi mengingatkan bahwa debat kandidat merupakan amanat dari Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017, yang bertujuan agar masyarakat tidak salah dalam menentukan pilihan pada Pilkada. Kehadiran media dalam proses tersebut adalah instrumen utama untuk menjamin keterbukaan demokrasi.
“Bagaimana masyarakat bisa tahu rekam jejak calon jika jurnalis dilarang meliput? Ini jelas melanggar konstitusi dan aturan pers,” tambah alumni Fakultas Hukum Universitas Lampung itu.
Kondisi ini memperparah catatan buruk kemerdekaan pers di Lampung. Berdasarkan data Dewan Pers, Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Lampung 2024 tercatat hanya 62,04, turun drastis dari 69,76 pada 2023, dan menjadi yang terendah kedua di Indonesia.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung juga mengecam keras pembatasan akses jurnalis tersebut. Mereka menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah fondasi demokrasi yang tidak boleh dikekang dalam bentuk apa pun, termasuk dalam penyelenggaraan PSU.
AJI mendesak penyelenggara pilkada, aparat keamanan, dan semua kandidat untuk menjamin keterbukaan informasi dan menghormati peran media sebagai pilar demokrasi. Mereka juga menyerukan agar jurnalis tetap profesional dan independen menjalankan tugasnya, sekaligus mengajak masyarakat bersama-sama menjaga kebebasan pers sebagai hak fundamental.***