PANTAU LAMPUNG- Sebuah agenda pemutaran dan diskusi film yang mendalam digelar pada Selasa, 29 April 2025, di Gedung B.3.1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung (FISIP UNILA). Mengusung tajuk _”Turang: Potret dan Sejarah Pembebasan”_ , acara ini digagas oleh enam komunitas mahasiswa, yaitu Pojok FISIP, Forum Literatur, Konsentris, Teknokra, Himagara, dan Taman Diskusi.
Film _Turang_ (1957) karya sutradara Bachtiar Siagian menjadi pusat perhatian. Karya klasik yang pernah memenangkan Penghargaan Citra sebagai Film Terbaik di Festival Film Indonesia 1960 ini mengangkat narasi perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme. Namun, film ini sempat lenyap dari peredaran akibat stigma politik pasca-1965. Kini, melalui usaha putri dari Bachtiar Siagian, Bunga Siagian, _Turang_ kembali hadir sebagai pengingat kolektif tentang potret sejarah yang pernah terabaikan.
Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Festival Film Asia-Afrika (11–30 April 2025), di mana Bunga turut memberikan pengantar dalam bentuk video untuk memberikan konteks historis dan kultural film tersebut. Ia juga menekankan pentingnya mobilisasi arsip untuk menyelamatkan memori kolektif bangsa.
Pemutaran film dihadiri oleh 54 peserta, mulai dari mahasiswa, akademisi, hingga pegiat literasi. Diskusi santai namun mendalam dipandu oleh Dede Safara Wijaya, Ketua Komite Film Dewan Kesenian Lampung (DKL), dengan moderator Fuad Abdulgani, seorang dosen Sosiologi UNILA yang aktif dalam kajian budaya.
Peserta menunjukkan antusiasme tinggi, menyoroti relevansi pembahasan sejarah dalam dinamika sosial-politik hari ini. Bagi mereka, _Turang_ bukan sekadar nostalgia, tetapi juga jendela untuk memahami narasi perjuangan rakyat yang sering tersingkirkan dari sejarah resmi.
_Kegiatan ini menjadi momen simbolik untuk merefleksikan ulang sejarah dan memperkuat kesadaran kritis, mempertemukan berbagai perspektif lintas generasi dan memperluas ruang dialog di tengah kampus dan komunitas Lampung,_ ujar salah satu panitia.
Lebih dari itu, diskusi ini juga menyoroti peran penting seni dan film sebagai penghubung antar-generasi untuk menyusun kembali potongan narasi yang selama ini disenyapkan.***