PANTAU LAMPUNG– Serikat Petani Indonesia (SPI) menyoroti kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan petani sepanjang tahun 2024. Kebijakan impor pangan yang dipermudah, ketidakstabilan harga pangan, serta maraknya privatisasi, liberalisasi, dan korporatisasi pangan menjadi sorotan utama SPI.
Ketua Umum SPI, Henry Saragih, menilai bahwa kebijakan impor pangan yang terus digalakkan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi adalah solusi yang tidak efektif. Impor pangan, khususnya untuk komoditas strategis seperti beras, kedelai, jagung, gula, daging sapi, bawang putih, dan garam, dinilai justru merugikan petani dalam negeri.
“Sejak 2015 hingga 2024, Indonesia mengimpor 2 hingga 2,6 juta ton kedelai. Impor jagung pada 2024 diperkirakan mencapai 1,9 juta ton, gula 5,4 juta ton, daging sapi 145 ribu ton, bawang putih 300-500 ribu ton per tahun, garam 2,4 juta ton, dan beras pada Januari-Mei 2024 tercatat sebanyak 2,755 juta ton. Bahkan, untuk sisa tahun 2024, impor beras masih diperkirakan akan mencapai 5 juta ton,” ungkap Henry.
Henry juga menyoroti ketidakstabilan harga pangan yang semakin memperburuk kondisi petani. Menurutnya, pada 2024, pemerintah menetapkan Harga Pembelian Gabah dan Beras (HPP) untuk GKP antara Rp5.000 hingga Rp6.000 per kilogram, sebuah angka yang tidak sebanding dengan biaya usaha tani padi sawah konvensional yang telah mencapai Rp7.000 per kilogram. Ironisnya, pemerintah justru menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) daripada meningkatkan HPP yang lebih mendukung petani.
“Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada stabilitas harga pasar, tapi juga pada kesejahteraan petani. Ketidakmampuan pemerintah menertibkan korporasi yang meraup keuntungan besar dalam distribusi pangan menjadi salah satu penyebab utama ketidakstabilan harga dan kerugian petani,” kata Henry.
Lebih lanjut, SPI juga mengingatkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang menandatangani sejumlah perjanjian perdagangan bebas, termasuk yang mengatur sektor pangan. Henry menjelaskan, penghapusan ketentuan impor pangan dalam Undang-Undang Pangan melalui UU Cipta Kerja (UU Nomor 6 Tahun 2023) membuka pintu bagi lebih banyak pangan impor masuk ke Indonesia.
“Dengan semakin mudahnya akses impor pangan, Indonesia semakin bergantung pada pasokan pangan dari luar, yang pada akhirnya akan merugikan petani dalam negeri,” tegas Henry.
Selain itu, Henry juga menyoroti dampak krisis iklim terhadap sektor pertanian. Krisis iklim yang semakin parah, menurutnya, turut memperburuk kondisi pangan global. Laporan FAO mencatat bahwa jumlah orang kelaparan di dunia terus meningkat, dengan 733,4 juta orang kelaparan pada 2023. Tahun 2024, angka ini diproyeksikan akan meningkat.
“Faktor-faktor seperti konflik global, krisis iklim, dan perdagangan bebas yang tidak terkendali memperburuk kondisi ini. Solusi yang ditawarkan, seperti adaptasi iklim melalui pasar karbon, pertanian pintar iklim (CSA), dan rekayasa genetika, justru tidak menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi petani,” tambah Henry.
Henry berharap agar pemerintah segera meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang menguntungkan korporasi besar namun merugikan petani. Ia menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan kebijakan yang berpihak pada petani lokal, dengan mengutamakan kedaulatan pangan untuk masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.***